Jakarta (ANTARA News) - Wakil Presiden Boediono menyatakan, pemerintah siap melakukan introspeksi diri terkait sejumlah kelemahan dalam pengembangan perumahan terutama rakyat menengah ke bawah.

"Pemerintah siap untuk melakukan introspeksi, dan diharapkan pelaku sektor properti juga siap untuk melakukan introspeksi. Sama-sama kita mencari titik temu," katanya, saat membuka Munas XII REI di Jakarta, Selasa.

Wapres Boediono mengatakan, Pemerintah memiliki tugas dan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan perumahan bagi rakyat, termasuk masyarakat menengah ke bawah. Sedangkan sektor perumahan itu unik saling berkaitan satu sama lain dengan sektor lain, baik secara ekonomi maupun dari sisi masyarakat.

"Untuk itu perlu koordinasi yang lebih erat antara pemerintah sebagai pengambil kebijakan dengan pelaku penyedia perumahan bagi rakyat. Pemerintah siap untuk membenahi beberapa kebijakan yang menghambat perkembangan sektor properti. Namun, pelaku penyedia rumah rakyat juga harus mau berintrospeksi untuk tidak selalu berorientasi pada pasar tetapi juga non pasar," katanya.

Wapres menegaskan, semua komponen terkait pembangunan perumahan harus bisa saling berkoordinasi dengan baik dan benar sehingga benar-benar bisa dirasakan oleh masyarakat sebagai pengguna.

"Kita perlu saling berkoordinasi untuk mencari titik temu yang tepat, bagaimana sektor perumahan ini dapat diarahkan sebaik mungkin bagi kebutuhan masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah," katanya.

Pemerintah siap me-introspeksi diri antara lain untuk menjawab enam hambatan yang dihadapi sektor properti, ujar Boediono.

Sebelumnya, Ketua DPP Real Estate Indonesia Teguh Satrio meminta pemerintah segera menuntaskan enam kendala yang dihadapi bagi pengembangan bisnis properti di tanah air.

Enam hambatan itu adalah ekonomi biaya tinggi. "Proses izin yang panjang dan berbelit berakibat biaya tinggi yang akhirnya ditanggung konsumen," katanya.

Teguh menambahkan, hampir seluruh kota/kabupaten diberlakukan satu atap untuk pengurusannya, tapi pintunya tetap banyak.

"Atapnya satu Pak Wapres, pintunya banyak. Sering dinyatakan izin diselesaikan 14 hari, tapi untuk melengkapi persyaratan yang sangat banyak ada pengembang yang mengurus 24 persyaratan lampirkan hingga butuh waktu satu tahun," kata Teguh.

Permasalahan kedua, kepasian hukum khususnya hak kepemilikan atas tanah. "Bisnis real estate terkait kepemilikan tanah. Belum ada jaminan tanah beli miliki sertifikat bebas dari gugatan pihak tiga. Ini sangat rawan dalam bisnis properti," ungkapnya.

Hambatan ketiga tentang pembiayaan. "Sebaiknya dibuat dalam UU dan kebetulan sedang membahas revisi UU-nya . Padahal kalau itu bisa diwujudkan maka perhitungan tidak kurang dari Rp17,5 triliun dana dapat dihimpun per tahun," katanya.

Persoalan keempat yang dihadapi sektor properti adalah tidak adanya kejelasan pemerintah terhadap kelanjutan program 1.000 menara Rusunami. "Dalam program itu, 200 pengembang anggota REI terlibat. Namun insentif yang dijanjikan tidak pernah ada, bahkan pengembang yang diajukan presiden dan wakil presiden justru harus membayar denda," katanya.

"Perlu ada ketegasan pemerintah terhadap kelanjutan pembangunan rusunami khususnya di Jakarta dan sekitarnya," tegasnya.

Permasalahan kelima belum adanya tata ruang dan tata kota yang memadai sehingga REI kesulitan memastikan ini boleh dibangun atau tidak.

"Kami prihain atas kemacetan hampir di seluruh kota besar. Belum ada satupun kota di Indonesia memiliki tata ruang bawah tanah. Kalau tata ruang dan tata kota bisa diwujudkan dengan baik akan mengurangi macet dan lebih efisien. Ini yang perlu didorong di kota-kota besar di indonesia," tutur Teguh.

Masalah keenam yakni kepemilikan properti untuk orang asing."Jika dapat lebih kompetitif kami perkirakan dapat terjadi penjualan 10.000 unit per tahun," katanya.
(ANT/A024)

Pewarta:
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2010