Magelang (ANTARA News) - Memasuki dusun-dusun yang selama sepekan lebih diguyur hujan pasir dan abu semburan Gunung Merapi terasa memasuki kampung mati yang porak poranda ditinggal para penghuninya.

Suasanya begitu suram, sesuram warna kelabu kehitaman yang menyelimuti semua permukaan benda yang ada di dusun-dusun itu.

Setiap benda yang ada di dusun-dusun di Kecamatan Srumbung dan Salam, Kabupaten Magelang, berwarna kelabu.

Jalan dusun, dinding rumah, atap, puluhan ribu pohon salak siap panen, pepohonan, hingga langit pada Kamis (11/11) itu begitu kelabu.

Letusan dahsyat Gunung Merapi pada 5 November menjadikan semua benda terguyur hujan pasir dan abu. Banyak bangunan rusak, atap asbes tak kuat menahan tumpukan pasir yang menggenangi bagian atas rumah.

Tanaman yang semula "ijo royo-royo" dalam waktu singka berubah menjadi hitam ketika Merapi meletus pada Jumat (5/11) dini hari.

Ketika material Merapi itu mengering, semua berubah warna menjadi kelabu. Sekelabu nasib ribuan penduduk Srumbung, Salam, dan wilayah rawan bencana lainnya yang selama sepekan lebih berada di pengungsian.

Tidak ada embikan kambing, tidak ada lenguhan sapi dan kerbau, tidak ada kokok ayam, tidak ada suara anak-anak yang biasanya menghidupkan dusun-dusun itu.

Beribu-ribu pohon kelapa sejak semburan awan panas dan pasir itu, daun-daunya patah di bagian pangkal, berubah membentuk anak panah yang ujungnya seolah menantang awan kelabu sore itu.

Daun-daun nyiur yang selalu melambai ketika terkena embusan angin dari Merapi, sejak letusan dahsyat Jumat dini hari itu terdiam bisu.

Semua daun nyiur itu lunglai, tak kuat menahan semburan awan panas dan menopang pasir yang menempel seluruh daunnya. Nyiur itu hanya menyisakan pucuk janur yang bisa selamat karena posisinya tegak.

Ribuan pohon nyiur memang masih tegak berdiri, namun tak ada yang bisa memastilkan apakah kelak masih bisa memberi kehiduan bagi warga setempat.

Nyiur-nyiur itu kehilangan hampir seluruh pelepah yang patah di bagian pangkal. Buah kelapa itu menampakkan warna seragam; kelabu, kulitnya terpapar awan panas. Daun nyiur itu kini tak lagi melambai.

Ribuan rumah di dusun-dusun itu kosong ditinggallkan penghuninya sepekan lalu. Nyaris tak ada kehidupan di dusun-dusun itu. Hanya ada suara-suara lirih, seolah tidak percaya bahwa apa yang mereka pelihara selama ini bisa rusak dalam waktu sekejap.

Kabel listrik yang terputus karena diterjang pohon tumbang masih dibiarkan melintang di badan jalan dusun itu. Listrik sudah padam sejak sepekan lebih. Hanya kegelapan yang ada di dusun-dusun itu pada malam hari.

"Entah sampai kapan kampung kami seperti ini," kata Sudibyo (60), warga Dusun Karang Gawan, Desa Jumoyo, Kecamatan Salam, Kamis (11/11) sore itu.

Ia bersama sekitar 300 warga dusun itu langsung menyingkir jauh setelah Merapi menampakkan gelagat tak bersahabat pada 5 November. Tak ada yang menyuruh, mereka mengungsi secara mandiri.

Ia mengisahkan, tidak pernah Merapi menyemburkan hujan pasir sederas ketika itu.

Pada letusan besar pada tahun 1960-an pun, katanya, tidak separah seperti sekarang ini.

Letusan kali ini bukan saja menghujani alam sekitarnya dengan pasir dalam jumlah luar biasa besar, namun juga menyebabkan banjir lahar dingin yang memorak-porandakan tanaman yang ada di pinggiran sungai.

"Lihatah, tak ada lagi tanaman salak yang utuh. Semua melayu, lalu roboh. Bambu-bambu juga tumbang lalu terseret arus lahar itu," kata Siswanto (33), warga Srumbung, dengan mimik sedih.

Ekspresi sedih dan lelah terlihat di wajah-wajah warga yang sore itu menengok rumah mereka.

Mereka juga mengaku belum ada petugas yang mendata kerusakan tanaman, ternak, dan rumah mereka. Padahal itulah harta penting untuk melanjutkan kehidupan mereka setelah bencana dahsyat tersebut berlalu.

Warga tidak ada yang tahu sampai kapan akan menjalani hidup yang sulit seperti ini. Mereka hanya berharap beban berat tidak mereka tanggung sendiri.

"Saya dengar pemerintah akan ganti ternak. Namun apakah juga akan mengganti tanaman salak yang rusak?" kata Darsono, warga Desa Jumoyo.

Dusun-dusun di Salam dan Srumbung, sore itu memang lumpuh total. Daerah berjarak sekitar 10 kilometer dari puncak Merapi itu terlihat suram, padahal pada saat normal daerah itu cukup ramai.

Warung, toko, kantor pemerintah, kantor cabang bank dan lembaga jasa keuangan tutup sejak sepekan lalu. Sekolah dan lembaga kursus juga terkunci rapat.

Halaman sekolah yang tertimbun pasir setebal lebih dari lima centimeter menjadi bukti betapa derasnya hujan pasir dan abu di desa-desa itu.

Tidak ada bekas tapak sepatu dan kaki bocah di halaman SD dan SMP Srumbung, Kamis sore itu yang masih diwarnai hujan abu tipis. Hanya ada bekas tapak induk dan anak-anak ayam yang sore itu kesulitan mencari makanan.

Dua pohon peneduh di halaman SD Srumbung itu roboh, ranting-rantingnya mengering tak kuat menahan panas hujan pasir. Tanaman salak hancur. Pepohonan di belakang sekolah itu juga layu.

Menurut Sudibyo, tokoh masyarakat Desa Jumoyo, letusan Merapi menyebabkan perekonomian lumpuh karena sejak saat itu aktivitas sosial ekonomi warga terhenti.

Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa itu, namun letusan Merapi bakal meninggalkan penderitaan panjang.

Tanaman salak, juga buah nyiur, yang menjadi andalan perekonomian warga nyaris tidak menyisakan buah yang bisa dipanen untuk sekadar menambah bekal hidup di pengungsian.

"Kerusakan parah seperti sekarang ini tidak bisa dipulihkan dalam waktu 3-6 bulan. Butuh waktu sekitar satu tahun, bahkan mungkin dua tahun untuk menjadikan tanaman salak dan pohon kelapa kembali berbuah," katanya.

Kerusakan tersebut, kata Sudibyo yang juga polisi itu, memberi efek berantai yang panjang, terutama dalam perekonomian dan meninggal trauma pada penduduk.

Banyak usaha skala mikro, seperti usaha potong rambut, warung, toko, dan lainnya bakal terpuruk. Padahal, usaha itulah yang selama ini menjadi penopang kehidupan warga.

Kesuraman juga tampak dari wajah-wajah pengungsi yang mulai jenuh menjalani kehidupan monoton di penampungan.

Meski makanan tercukupi, mereka sangat menunggu kabar gembira diperbolehkan kembali ke rumah.

"Saya ingin bisa segera pulang ke rumah," kata Febriana, siswa kelas dua SD Klatak, Kecamatan Dukun, di tempat pengungsian SMK Muhammadiyah, Ponalan, Kecamatan Muntilan.

Sudah sepekan lebih Febriana dan seratus lebih anak-anak berada di pengungsian. Tentu saja ia jenuh hidup di pengungsian yang sesak, apalagi setiap mau mandi saja, selalu antre lama.

Di pengungsian itu debu tebal setiap saat berterbangan menyesakkan rongga pernapasan.

Yang lebih membuat gundah Febriana, sudah lebih sepekan dia tidak bisa sekolah. Gadis kecil anak sopir angkutan barang itu mendapat kabar bahwa sekolahnya sudah tidak lagi dijadikan lokasi pengungsian, namun tetap tidak bisa dipakai karena masuk kawasan rawan bencana Merapi.

Nova Andriani, siswa kelas empat SD Klatak, juga di pengungsian SMK Muhammadiyah, malah akan memaksa orang tuanya untuk membawa pulang ke rumah pada Jumat (12/11).

"Saya belum pernah menengok rumah sejak berada di pengungsian selama seminggu," katanya.

Febriana, Nova, puluhan ribu anak pengungsi, dan ratusan ribu pengungsi di Kabupaten Boyolali, Klaten, Magelang, dan Sleman, tentu berharap kesedihan ini segera berakhir.

Namun, sampai Jumat (12/11), puncak Merapi terus menyemburkan awan panas bergulung-gulung. Tak ada kepastian bila Febriana dan Nova bisa kembali.

Sama tidak pastinya kapan dedaunan nyiur itu bakal kembali melambai.
(U.A030/S018/P003)

Oleh Achmad Zaenal M. & Hernawan Wa
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010