Bogor (ANTARA News) - Senja itu, rumah mungil yang terletak di kampung Sukajadi, RT04/RW10, Kelurahan Bondongan, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat milik Inan Sunarya dipadati orang-orang dengan raut wajah berselubung duka.

Satu persatu mereka saling bersalaman, bahkan ada yang menangis dan terisak-isak. Mereka bertingkah mengusap dan menutupi air mata kesedihan atas peristiwa pilu yang dialami sanak saudaranya.

Satu persatu mereka berjalan menuju ruang tengah rumah tua itu karena di sana ada pula yang keluar sambil menyeka air dimukanya dan tidak kuasa menahan tangis.

Ketika ANTARA mendatangi rumah itu suasana haru menyeruak. Entah siapa, tapi mereka menangis terisak-isak di depan empat jasad kaku berselimutkan kain panjang bercorak batik.

Wajah mereka ditutupi kain putih transparan sehingga masih bisa dilihat parasnya satu persatu-satu, yang putih memucat dengan mata tertutup.

Sangat ironi, empat jasad itu dijejerkan dalam satu ruangan. Satu jasad orang dewasa berada di tengah-tengah tiga jasa ukuran anak-anak.

Masing-masing mereka bernama Siti Nurlela (27), Viona (2), Marza (4) dan Zia (2) korban tanah longsor yang terjadi Selasa siang.

"Baru tadi malam dia merengek minta dibelikan susu sama saya, tapi sekarang dia sudah tidak ada," isak salah satu pria yang duduk di luar ruangan sambil menepuk-nepuk dadanya.

Pria itu Harjito Triatmojo, suami Situ Nurlela dan ayah dari Viona.

Tubuhnya yang tegap kini hanya bisa menangis dalam duka, sebagai seorang pekerja keamanan di salah satu pabrik di Kawasan Ciomas, ternyata tidak mampu menyimpan kesedihannya atas perginya orang-orang tercinta.

"Padahal tanggal 28 besok putri saya ulang tahun. Saya sudah niat mau belikan boneka permintaannya," kenang Harjito dalam tangisnya.



Mimpinya terkubur

Longsor itu menguburkan mimpinya untuk merayakan ulang tahun putrinya yang ke-2. Harjinto berkali-kali bertanya kenapa ujian seberat itu menimpa dirinya yang sangat menyayangi keluarganya.

Silih berganti sanak-saudara menyalami Harjito dan mengingatkan tetap sabar. Berkali-kali itu pula Harjito menangis dan meminta semua orang memaafkan istri dan anaknya.

Bapak satu anak itu tidak menyangka longsor tersebut merenggut nyawa istri, anak dan dua keponakannya.

Tidak ada pertanda sebelum peristiwa memilukan terjadi. Hanya saja sehari sebelum kejadiaan Viona Fahrunisa Dwiatmojo putri semata wayang Harjito ini rewel dan banyak permintaan.

"Sebelum kejadian memang tidak ada petanda, cuma sehari sebelum kejadian, cucu saya ini rewel, menangis dan banyak maunya," kata Inan Sunarya mengenang cucunya.

Dalam rewelnya, gadis cilik berkulit putih itu meminta dibelikan boneka, baju warna pink dan susu. Karena sayangnya, sang ayahpun menyanggupi permintaan buah hatinya, membawanya jalan-jalan ke Lapangan Sempur pada Minggu (14/11) lalu.

Ternyata perubahan sikap itu menjadi pertanda perginya Viona bersama ibunya dan dua sepupunya menemui sang Khalik di saat seluruh umat muslim menyambut datangnya hari raya Idul Adha.

Harjito sangat menyayangkan kepergian putri dan istrinya yang begitu cepat. Ia juga menyesali mengapa istrinya pergi ke rumah kakak iparnya untuk bermain.

"Coba, jika dia tidak ke sana, mungkin saat ini kami bisa bersama-sama merayakan lebaran," ucapnya penuh isak.

Longsor terjadi sekitar pukul 12.30 WIB saat hujan deras mengguyur wilayah Kota Bogor. Longsor itu menimpa rumah warga yang berada di dekat rel kereta api, tepatnya di pinggiran tebing setinggi kurang lebih dua meter.

Melihat kondisinya, longsor disebabkan erosi tanah yang tidak mampu menahan deras air hujan. Tanah tebingan rel menghantam rumah mungil milik Yanti salah satu korban yang selamat, dan menimbun empat orang yakni adik, anak dan keponakannya.



Rawan longsor

Kapolres Bogor Kota, AKBP Nugroho Slamet Wibowo menyayangkan lokasi longsor memang daerah rawan karena jaraknya yang cukup dekat dengan rel kereta api.

"Seharusnya jarak normal kiri dan kanan sepanjang rel kereta api itu tujuh meter, tapi ini tidak. Salah satu penyebabnya itu. Daerah ini rawan karena berdekatan dengan rel kereta api," katanya.

Kapolres mengatakan, semua pihak bertanggunjawab atas peristiwa tersebut, terutama pihak PT KAI sebagai pemilik lahan. Ada kaitannya longsor terjadi dorongan dari getaran yang ditimbulkan kereta setiap kali lewat.

Sementara itu Camat Bogor Selatan, Dadang Abdurahman mengatakan bahwa di daerahnya memang tergolong rawan bencana alam seperti longsor, karena pemukiman warga banyak yang berada di pinggiran sungai dan tebing.

Termasuk lokasi longsor di Kampung Sukajadi, pihaknya juga tidak mengetahui kenapa banyak warga yang membangun rumah di pinggiran rel kereta api dengan jarak tidak sesuai batas aman.

"Kita belum tahu dari mana izin bangunan rumah warga, akan kita selidiki siapa yang memberi izin. Apakah PT KAI, karena ini masuk kawasan milik mereka," katanya.

Wali Kota Diani Budiarto yang meninjau rumah duka mengaku banyak daerah rawan longsor di Kota Bogor, salah satunya Kampung Sukajadi tersebut. Menurutnya, peristiwa itu dikarenakan topografi wilayah Bogor yang memang rawan erosi tanah.

Ditambah lagi banyak masyarakat Bogor yang masih tinggal di pinggiran tebing dan sungai. Kondisi ini kerap menimbulkan korban jiwa. Wali Kota membantah memberi izin pembangunan pemukiman warga di kawasan rawan longsor.

"Namanya masyarakat, kita sudah mengatur kawasan rawan bencana, tapi mereka sudah lama mendiami kawasan-kawasan tersebut. Jadi sulit diatur," kata Wali Kota.

Di Kota Bogor terdapat sejumlah sungai, di antaranya yang paling besar adalah Sungai Ciliwung dan Cisadane. Disepanjang pinggiran sungai tersebut tergolong padat penduduk. Banyak warga yang tinggal di pinggir sungai, sebenarnya sangat membahayakan.

Wali Kota mengatakan, pihaknya telah berupaya merelokasi sejumlah daerah yang rawan bencana, seperti kawasan Pulau Geulis, namun masyarakat setempat menolak untuk dipindahkan.

Menghadapi masyarakat, kata Wali Kota membuat pemerintah sulit mengambil kebijakan. Padahal tindakan tersebut dilakukan untuk keselamatan warga setempat.



Perlu relokasi

Seperti halnya warga yang tinggal disepanjang rel, seharusnya dalam aturan pemukiman warga berjarak tujuh meter dari kiri dan kanan rel. Namun kenyataan di lapangan, jarak rumah warga dengan rel kurang dari tujuh meter.

"Jika mengikuti aturan, warga tidak akan tinggal di sekitar rel, tapi kenyataannya mereka tidak mengikuti aturan," kata Wali Kota.

Wali Kota mengatakan, kebanyakan mereka yang tinggal di pinggir tebing dan lokasi rawan bencana merupakan masyarakat dari kelas ekonomi menengah yang memanfaatkan lahan kosong sebagai tempat tinggal.

Oleh karena itu, Wali Kota meminta setiap Camat melakukan upaya antisipasi warga yang tinggal di daerah rawan bencana untuk dipindahkan. Warga juga diimbau waspada dengan kondisi cuaca dan kontur tanah Kota Bogor yang rawan bencana.

Peristiwa tersebut kata Ketua Komisi C DPRD Kota Bogor, Yus Ruswandi, hendaknya menjadi pelajaran bagi warga sekitar untuk mau mematuhi aturan pemerintah yang ditetapkan.

Keselamatan masyarakat juga tanggungjawab pemerintah, namun jika masyarakat tidak peduli tentu pemerintah tidak dapat berbuat banyak, katanya.

Menurut Yus, di Kota Bogor masih banyak daerah padat penduduk yang berada di daerah rawan bencana termasuk di kawasan Kampung Sukajadi yang masuk kategori padat penduduk dan rawan bencana.

Yus mengatakan, peristiwa ini mendorong pihaknya mempercepat proses relokasi perumahan warga yang berada dikawasan rawan bencana, sehingga kedepan tidak ada korban jiwa lagi.

"Kita mendorong pemerintah melakukan relokasi pemukiman warga yang ada di kawasan rawan longsor, dan pemukiman padat penduduk. Kita manfaatkan Rusunawa untuk menampung warga, agar terhindar dari bencana," katanya.

Peristiwa longsor memang acap kali terjadi di Kota Bogor. Setiap hujan turun, longsor selalu terjadi, khusus di Kecamatan Bogor Selatan masuk dalam daerah rawan bencana longsor dan Banjir.

Belum lama ini pada Agustus lalu saat Ramadhan longsor terjadi di Kampung Sindangsari RT 4/RW 7 Kelurahan Kebon Kelapa, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, tiga orang tewas tertimbun longsor.

Jika saja semua warga waspada dan bersedia mengikuti peraturan yang berlaku, tentu musibah tanah longsor seperti menimpa keluarga Harjito Triatmojo tidak terulang lagi di masa mendatang. (LR/K004)

Oleh Oleh Laily Rahmawati
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010