Depok (ANTARA News) - Biaya yang diperlukan untuk memindah ibukota negara masih lebih murah ketimbang kerugian yang harus diderita semua pihak akibat kemacetan lalu lintas setiap hari di Jakarta.

"Tidak benar biaya pemindahan ibukota itu mahal," kata Adrinof Chaniago, peneliti dari Universitas Indonesia yang juga koordinator gerakan Visi Indonesia 2033, kepada ANTARA News, Kamis.

Adrinof mengatakan biaya pemindahan ibukota diperkirakan Rp100 triliun untuk jangka waktu 10 tahun. Dalam hitungan Andrinof, setiap tahun dalam proses perpindahan itu akan memerlukan Rp1 triliun. "Nilai itu kurang dari 1 persen total APBN kita. Jauh lebih murah dari biaya kerugian yang harus ditanggung dari kemacetan yang terjadi di Jakarta per tahun yang menurut berbagai hasil riset antara Rp20 triliun hingga Rp40 trilyun pertahun," katanya.

Menurut dia langkah pemindahan ibukota cukup mudah yaitu dengan keputusan politik diikuti pengamanan wilayah tujuan ibukota dengan undang-undang atau keputusan presiden. "Sehingga tidak dimungkinkan adanya transaksi tanah di wilayah yang akan menjadi ibukota itu," kata Andrinof.

Mengenai proses pemindahan yang memerlukan waktu 10 tahun, dia mengemukakan hal itu berdasarkan pada pengalaman ilmiah negara-negara yang sudah berhasil. "Kalau terwujud, martabat bangsa Indonesia akan naik," katanya.

Lebih lanjut Andrinof mengemukakan, Jakarta tetap sebagai kota perdagangan dan bisnis. "Kota bisnis tak bisa pindah karena sudah menjadi milik privat dan lahir atas mekanisme pasar," katanya.

Adrinof mengatakan untuk memudahkan menata Jakarta maka beban kota harus dikurangi. Ia menyebut konsentrasi penduduk di kota-kota satelit sebagai sumber masalah di Jakarta.

Visi Indonesia 2033 beberapa waktu lalu menyerahkan kajian ilmiah ke DPR. Di dalam kajian ilmiah itu terdapat rekomendasi agar ibukota baru berada di Kalimantan karena wilayah itu ada di tengah Indonesia dan merupakan pulau yang paling aman dari ancaman gempa bumi.
(Yud/A038/BRT)

Pewarta: Yudha Pratama Jaya
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010