Ingat tidak waktu kita sedang krisis moneter dan ekonomi di senjakala Orde Baru dan awal reformasi itu? Betapa nilai mata uang rupiah anjlok. Banyak proyek infrastruktur dan properti tutup. Koran-koran dan majalah mengurangi jumlah halaman dan mutu kertas. Semua sektor terkena imbasnya, bukan?

Waktu itu, gaji saya sebagai seorang reporter di sebuah majalah bulanan yang hanya enamratus ribu rupiah semakin tak bernilai. Ongkos angkutan umum naik, harga makanan di Warung Tegal juga naik. Hampir tiap hari saya dihadapkan dilema.

Berjejer di Terminal Blok M dengan calon penumpang lainnya, saya hanya bisa melongo dan menelan ludah di depan penjual gorengan. Kalau memaksakan beli gorengan, apakah itu tempe atau risol, risikonya tak ada lagi ongkos buat naik angkot.

Era krisis itu jelas membuat saya lebih besar pengeluaran, dengan penghasilan pas-pasan. Belum lagi harus menanggung malu kalau pulang lebaran. Orang kota kok, tak signifikan tinggalannya.

Untungnya waktu itu saya masih bujangan, tetapi kemudian nekad juga menikah dalam suasana seperti itu. Saya bukan orang yang sepenuhnya modern, hidup penuh pertimbangan ini-itu –atau terlalu percaya ramalan bintang. Semua saya jalani dengan penuh optimis dan Bismillah.

Suasana krisis memang lantas membuat saya kreatif dalam beradaptasi. Dan rezeki datang dari penjuru-penjuru yang tak disangka-sangka.

Tapi bukan itu inti tulisan ini.

Saya ingin mengajak Anda untuk melihat-lihat, bahwa dalam suasana krisis pun, mobil-mobil mewah merek apapun masih mudah ditemukan di sudut-sudut Jakarta. Pusat-pusat perbelanjaan juga tidak sepi-sepi amat. Suasana kontradiktif masih banyak kita temui di lapangan. Sepertinya, Indonesia sedang tidak krisis. Para elite politik juga banyak yang kurang mengedepankan sense of crises.

Memang krisis membuat petani kakao di Sulawesi mendadak kaya. Atau juga yang lain. Tingkat penjualan kulkas katanya, naik. Bahkan di tempat-tempat yang tak terjangkau aliran listrik. Lemari es itu, konon sekedar dipajang saja, atau dijadikan lemari pakaian.

Walaupun ada yang seperti ketiban rezeki nomplok, umumnya, krisis tetap saja membuat orang kebanyakan susah.

Tetapi, toh konsumerisme dan hedonisme juga masih bertahan. Peringatan-peringatan tahun baru juga tak menampakkan suasana bahwa kita sedang krisis. Krisis? Siapa yang krisis? Pasti kamu ya, orang-orang miskin. Begitulah kira-kira, mereka seperti hendak menyapa. Yang namanya orang kaya, tetap saja kaya. Mau nilai rupiah anjlok sekalian pun, mereka terkekeh sambil pegang-pegang dolar.

Betapa pun demikian, semua punya pengalaman subyektif tentang krisis ekonomi itu. Dan, alhamdulillah Indonesia sudah cukup membaik ekonominya. Walaupun demikian, setumpuk pekerjaan rumah masih perlu diseriusi penyelesaiannya. Yang miskin masih banyak, yang nganggur juga. Bayangan kita, Indonesia sebagai bangsa besar yang mandiri, masih perlu ekstra keras untuk diwujudkan.

Sistem kebangsaan, kemasyarakatan, kenegaraan dan teknis-teknis yang menyertainya, janganlah sampai menyerupai kritik Haji Rhoma Irama tempo dulu, yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Tapi, yang kaya silakan semakin kaya, tetapi yang miskin jangan semakin miskin –mestinya ikut sejahtera juga.

Berbagai konsep seperti reformasi, renovasi, rejuvenasi, restorasi dan sejumlah re lainnya, telah mengembang menjadi wacana sedemikian rupa. Wacana-wacana itu masih dihadapkan pada realitas objektif yang dapat kita catat, antara lain :
  1. kompetisi politik semakin ketat;
  2. korupsi masih menjadi permasalahan serius yang rumit penganggulangannya;
  3. tuntutan untuk hidup secara pragmatis meninggi, di tengah-tengah budaya konsumeristik yang menggejala sedemikian rupa.
Kita masih gampang menemui anomali-anomali di bidang politik, ekonomi, hukum, dan budaya. Atau barangkali mindset kita memang anomalik? Maksudnya kita berpikir bahwa apa yang kita maui nyatanya bergerak mewujud tidak seperti yang kita maui. Ada pembalikan-pembalikan. Kita mau praktik birokrasi bersih, sesuai dengan semangat reformasi birokrasi, nyatanya segera dihadapkan pada kenyataan pembalikan: budaya korupsi masih belum terkikis.

Kita ingin membudayakan mandiri, berhemat, menabung, produktif, konstruktif, nyatanya sebaliknya: bergantung, boros, besar pasak ketimbang tiang, utang, kontraproduktif, konsumeristik, dan destruktif.

Dari segala posisi sepertinya kita diserbu (bukan menyerbu) oleh iklan-iklan konsemeristik, ajakan untuk boros, malas memproduksi karena barang-barang di pasar jauh lebih praktis dan murah, suka utang (dan akhirnya berpikir juga untuk ngemplang).

Kita, barangkali seperti kuda, dalam lagunya Iwan Fals, yang berlari-lari terengah-engah, nafasnya memburu ambisi-ambisi untuk memiliki barang-barang yang dipajang di etalase-etalase pertokoan.

Seruan-seruan untuk kencangkan ikat pinggang, tampak masih seperti karikatur-karikatur lama. Para elite dan orang kaya, karena gemuk-gemuk, mau dikencangkan seperti apa tetap saja gemuk. Para kaum papa dan nestapa, karena kurus-kurus: lalu, yang dikencangkan apanya?

Kita masih jadi bangsa yang nestapa, saat Sumiati, saudari kita TKI itu disiksa majikannya di Saudi Arabia. Sumiati jelas merupakan puncak gunung es dari kejadian serupa, dan hilangnya nyawa perempuan-perempuan dan ibu-ibu TKI kita. Memang, dari segi prosentase, katanya kasus-kasus ekstrim demikian relatif kecil. Tetapi, apakah cara berpikir kita harus sedemikian kuantitatif?

Harga diri kita sebagai bangsa telah banyak terusik. Oleh penyiksaan Sumiati, oleh klaim-klaim negara lain atas kesenian asli kita, oleh pelecehan kedaulatan wilayah oleh negara tetangga, dan hal-hal lain yang menyedihkan. Wajah bangsa(ku) masih seperti apa yang digambarkan Bung Karno pada masa lalu.

Dulu ada Pak Marhaen, sekarang ada Mbak Sumiati. Dulu Bung Karno mempopulerkan neo-imperialisme dan neo-kolonialisme, kini ada istilah globalisasi, pasar bebas, pembatasan atau pembebasan tarif produk ekspor/impor, privatisasi, dan banyak istilah lain yang canggih. Kita punya Pancasila, tetapi sepertinya masih bingung mau apa.

Rakyat berharap pemimpin berbuat nyata. Dan para pemimpinnya memang sudah berbuat nyata. Tapi mungkin karena beban dan tantangannya terlalu kompleks, hasilnya belum dapat sepenuhnya dirasakan langsung. Begitu, bukan? Kita hormati kinerja pemimpin –tetapi wajib kita kritik juga kalau kebangetan.

Berbagai laporan belakangan menyebutkan Indonesia potensial untuk bangkit sebagai salah satu kekuatan ekonomi masa depan, menyusul China, India, Brasil, Rusia, atau kelompok BRIC. Indonesia pada hakikatnya raksasa, tapi sedang tertidur (the sleeping giant). Potensinya untuk bangkit masih terbuka, asal benar manajemennya.

Asal logika berpikirnya benar-benar diorientasikan pada kepentingan nasional (national interest), kepentingan bangsa, tindakan dan aktualisasinya mengarah ke sana, insyaallah, kita akan cepat mengejar ketertinggalan.

Tapi, manakala yang mengemuka masih akal-akalan, culas, dan absurd –bukan untuk memperkokoh kepentingan nasional, kepentingan bangsa– maka kita akan mandeg, kalau bukan mundur. Apabila negara, tepatnya kekayaan negara atau potensi kekayaan negara, yang menempel di benak kita, kelompok kita, adalah sesuatu yang menggoda untuk “dirampok”, maka perlu segera untuk diluruskan: niat kita sudah tidak benar.

Ibu pertiwi bersedih karena terkoyak: dan itu mestinya jangan sampai. Jangan sampai pula kita jadi bangsa main-main, bangsa yang mudah dipermainkan, dan mudah diperpulas tidurnya.

Bahwa perjuangan kita untuk mewujudkan Indonesia sebagai bangsa yang besar dan maju masih butuh energi yang ekstra-keras dan pikiran yang ekstra-strategis. Perlu patriot-patriot yang kesatria, menancapkan tonggak-tonggak kemandirian di segenap bidang.

Mari maju bangsaku! (****)

*) Dosen di Universitas Nasional, Jakarta

Oleh Alfan Alfian
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010