Cancun, Meksiko (ANTARA News) - Peserta Konferensi Tingkat Tinggi (KTT/COP) ke-16 Badan PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) menyepakati perhitungan, pelaporan dan verifikasi (Measurable, Reportable, and Verifiable/MRV) yang diterapkan dalam program pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dari tiap negara.

Penasehat Senior Delegasi Republik Indonesia (Delri) dalam KTT ke-16, Eddy Pratomo di Cancun, Jumat mengatakan saat ini negosiasi MRV telah mencapai perubahan mendasar di mana sebagian besar negara maju dan berkembang telah menyetujui peran vital MRV ini untuk diadopsi dalam program pengurangan emisi GRK.

Dia mengatakan negosiasi masih terus dilanjutkan untuk menyepakati soal spesifikasi mekanisme penerapan MRV.

"Situasi perundingan di meja negosiasi masih berjalan alot. Namun demikian, Indonesia mendapat sambutan baik dari berbagai pihak sebagai salah satu katalis utama terjadinya perubahan mendasar," kata Eddy yang juga Desar Besar Indonesia untuk Jerman tersebut.

Dalam negosiasi tersebut, Indonesia menjadi negara berkembang pertama yang menyetujui peran MRV sebagai suatu mekanisme untuk diaplikasikan dalam reduksi emisi para pihak atau negara-negara perunding.

MRV diadopsi dengan tujuan agar program pengurangan emisi suatu negara menggunakan metode yang telah disepakati bersama sehingga setelah diukur, dilaporkan dan diverifikasi akan bisa diakui secara internasional.


Negosiasi alot

Memasuki hari keempat, Eddy mengatakan perundingan KTT ke-16 terasa tidak sedinamis perundingan KTT ke-15 2009 di Kopenhagen, Denmark.

Kopenhagen terdengar lebih memiliki gaung di dunia karena ekspektasi tinggi yang tercipta dari pihak tuan rumah waktu itu dan media secara umum.

Sementara di Cancun, muatan yang ada lebih mengarah ke pengembalian rasa saling percaya ("trust restoration") antara para pihak yang ada.

Hal ini sangat diperlukan untuk meletakkan landasan yang kokoh bagi perundingan selanjutnya di Durban, Afrika Selatan, tahun depan," katanya.

Beberapa hal yang berkembang dalam negosiasi seperti suara-suara keras dari negara-negara kunci bagi keberhasilan negosiasi KTT Iklim misalnya Amerika Serikat dan Jepang.

Eddy mengatakan Amerika Serikat sempat menolak terhadap pencantuman terminologi Protokol Kyoto dalam bentuk apapun.

Jepang juga menolak konsep periode kedua komitmen dilakukan setelah nantinya periode pertama dari komitmen Protokol Kyoto selesai pada 2012.

Eddy menjelaskan situasi tersebut dapat menimbulkan polarisasi yang lebih kuat antara kubu-kubu yang memiliki pendapat berbeda, sehingga menghambat kemajuan yang berarti dalam negosiasi.

Delri menghadapi alotnya sikap dua negara tersebut dalam berbagai topik negosiasi seperti mitigasi, adaptasi, pendanaan, transfer teknologi, REDD plus, dan sebagainya.

Akan tetapi Delri masih optimis adanya kompromi para pihak untuk tercapainya kesepakatan di Cancun.

"Di atas semuanya, yang paling krusial adalah adanya semangat kompromis di antara para pihak untuk dapat mengambil jalan terbaik dalam negosiasi yang tengah berlangsung," tambah Eddy. (N006/K004)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010