Jakarta (ANTARA News) - Praktisi sektor properti menilai, Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) sebaiknya dibubarkan jika dalam beberapa tahun depan, tidak mampu menghasilkan kebijakan strategis dan terencana untuk menuntaskan persoalan angka ketertinggalan ketersediaan rumah (Backlog) di Indonesia.

Demikian antara lain benang merah dalam Diskusi "Penguatan Lembaga Perumahan untuk Penyediaan Perumahan Bagi MBR : Kajian RUU Perumahan dan Permukiman" yang diselenggarakan oleh Forum Wartawan Perumahan Rakyat (Forwapera) di Jakarta, Kamis.

Ketua Dewan Pertimbangan Organisasi Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Fuad Zakaria menyebutkan, meningkatnya jumlah `backlog` perumahan pada 2004 sekitar lima juta menjadi 8 juta unit tahun ini adalah salah satu bukti bahwa Kemenpera selama ini tak berfungsi sesuai harapan.

"Kemenpera adalah regulator, bukan operator sehingga beberapa lembaga atau badan yang bertindak tidak langsung sebagai operator seperti Badan Layanan Umum dan kebijakan yang baru berupa Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), hanya mengukuhkan paradigma bahwa Kemenpera menggunakan pendekatan proyek," katanya.

Dengan kata lain, sampai sekarang, tegasnya, Indonesia belum mempunyai sistem penyediaan perumahan yang jelas.

Akibatnya, penyelesaian backlog perumahan di Indonesia, tidak pernah tuntas. "Program perumahan yang lain seperti Rusunami 1000 tower sampai sekarang mandek karena penanggung jawabnya tidak jelas dan di lapangan banyak salah sasaran," katanya.

Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik, Andrinov Chaniago pada kesempatan yang sama juga menilai, paradigma RUU Perumahan dan Permukiman yang kini dibahas antara Pemerintah dengan DPR, tidak berubah dengan UU No 4/1992 tentang Perkim.

"RUU yang baru ini tidak mengubah keadaan bahwa subsidi perumahan selama ini hanya akan dinikmati oleh produsen dalam hal ini pengembang dan konsumen menengah atas," katanya.

Padahal, harapan ke depan publik terhadap RUU Perkim, katanya, tegasnya peran negara untuk melakukan intervensi dan mengoreksi ke pasar perumahan di Indonesia karena selama ini sudah terbukti, sektor ini adalah pasar paling tidak sempurna.

Senada dengan Andrinov, staf pengajar Institut Teknologi Bandung, M. Jehansyah Siregar juga menilai, Indonesia memerlukan lembaga perumahan yang memiliki akses lebih kuat sebagai tangan pemerintah untuk menyediakan permintaan rumah.

"Lembaganya bisa metamorfosa dari Perum Perumnas, yang bisa menjadi pemasok dominan perumahan dengan anggaran yang jelas sehingga punya kekuatan untuk membeli lahan dan sebagainya. Ini juga perlu didukung pendanaan yang tidak hanya dari APBN, tetapi tabungan wajib perumahan," katanya.

Menanggapi FLPP, Jehansyah menilai, kebijakan itu pada akhirnya akan sia-sia karena bisa saja target bunga murahnya tak tercapai, ketika tren suku bunga perbankan nasional, seiring dengan membaiknya perekonomian, juga turun.

Ketiganya juga sepakat agar RUU Perkim yang saat ini sedang dibahas antara pemerintah dengan DPR dan ditargetkan selesai akhir tahun ini, ditunda pembahasannya. "RUU itu harus mendapatkan masukan yang komprehensif terlebih dulu dari semua pemangku kepentingan," kata Andrinov. (E008/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010