Jakarta (ANTARA News) - Tim Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan Indonesia, mengharapkan Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 sebagai Pemilu Nasional untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, DPR dan DPD secara serentak, yang merupakan momentum untuk mengembalikan arah demokratisasi ke jalur yang benar.

"Selama ini pemilu legislatif diselenggarakan secara berurutan dengan pemilu presiden, sedangkan pemilu kada dibiarkan berserakan waktunya, dan pembagian waktu penyelenggaraan pemilu seperti itu membuat pemilih bingung sehingga sulit untuk bersikap rasional," kata Daniel Dhakidae, Dewan Eksekutif Kemitraan, di Jakarta, Rabu.

Ia menjelaskan, bagi penyelenggara pemilu, pemilu legislatif merupakan pekerjaan sulit diatur karena harus membagikan 700 juta surat suara dengan 1.700 varian di seluruh penjuru tanah air, sementara total biaya pemilu kada sangat besar.

Perubahan UUD 1945 telah memperjelas sistem pemerintahan presidensial dengan mempertegas posisi dan fungsi eksekutif dan legislatif serta mengatur hubungan keduannya. Meskipun sudah menata bagaimana mengisi jabatan-jabatan eksekutif dan legislatif, namun konstitusi belum mengondisikan agar mereka bekerja efektif melayani rakyat.

"Salah satu kelemahan presidensialisme adalah terjadinya pemerintahan terpisah, yakni ketika presiden tidak mendapat dukungan mayoritas parlemen, atau ketika presiden dari satu partai tetapi parlemen didominasi partai lain," katanya.

Akibatnya, menurut dia, pemerintahan tidak efektif karena setiap kebijakan yang diajukan presiden cenderung ditolak parlemen. Jika pun diterima, pengesahannya butuh waktu lama, yang disertai politik transaksional.

Direktur Eksekutif Kemitraan, Wicaksono Sarosa, menambahkan bahwa ada beberapa hal terbentuknya pemerintahan tidak efektif pada pascapemilu, antara lain partai-partai politik tidak memiliki waktu untuk membentuk koalisi yang solid saat mengusung calon presiden.

Koalisi, menurut dia, dibangun bukan berdasar platform politik melainkan semata penjatahan kursi sehingga rawan pengkhianatan, dan presiden terpilih tersandra oleh partai-partai politik yang selalu memainkan kartu dukungan di parlemen.

"Kondisi di daerah menjadi lebih parah, karena tidak adanya kaitan antara kepala daerah terpilih dengan konfigurasi politik di DPRD, sehingga semua kebijakan ditetapkan berdasarkan transaksi politik," katanya.

Berdasarkan pengalaman negara-negara penganut presidensialisme, dapat disimpulkan, apabila pemilu legislatif dibarengkan waktu penyelenggaraannya dengan pemilu presiden maka presiden terpilih akan diikuti oleh dukungan mayoritas di parlemen, sebab keterpilihan presiden mampu menarik keterpilihan anggota legislatif.

Pengalaman yang telah diteorisasikan oleh para ahli pemilu tersebut bisa diterapkan di Indonesia, dengan mengatur kembali jadwal pemilu, yaitu pertama, pemilu memilih anggota DPR dan DPD dibarengi waktu penyelenggaraannya dengan pemilu memilih presiden, sehingga menjadi pemilu nasional.

Kedua, pemilu memilih anggota DPRD dan kepala daerah dibarengkan waktu penyelenggaraannya sehingga menjadi pemilu daerah. Ketiga, selang waktu pemilu nasional dengan pemilu daerah antara dua sampai tiga tahun, sehingga memberi kesempatan pemilih untuk mengevaluasi, menilai dan menghukum kinerja pemerintahan hasil satu pemilu melalui pemilu yang lain.

"Dengan demikian pemilu tidak hanya mendorong pemilih untuk bersikap rasional, tetapi juga mendorong partai politik untuk terus meningkatkan kinerjanya, maka Pemilu 2014 bisa ditetapkan sebagai pemilu nasional, sehingga menjadi Pemilu Nasional 2014. Sedangkan pemilu daerah diselenggarakan pada 2016 dan ditetapkan menjadi Pemilu Daerah 2016," imbuhnya.
(ANT/P003)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010