Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah telah menyelesaikan penyempurnaan atas aturan tentang cost recovery melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 tahun 2010.

"Presiden sudah menandatangani PP tentang cost recovery sekitar seminggu yang lalu," kata Direktur Peraturan Perpajakan Ditjen Pajak, Syarifuddin Alsjah di Jakarta, Rabu.

Cost recovery adalah biaya operasi dalam rangka kegiatan operasional perminyakan yang dapat dimintakan pengembaliannya kepada pemerintah dalam rangka kontrak kerja sama (bagi hasil) yang meliputi biaya eksplorasi, biaya produksi (termasuk penyusutan), dan biaya administrasi.

Syarifuddin menyebutkan ada tiga prinsip yang mendasari terbitnya PP tersebut. Pertama, aturan baru cost recovery tidak memengaruhi kontrak kerja sama migas yang sudah ada (excisting contract). Artinya, pemerintah tetap menghormati apa-apa yang sudah ditanda-tangani dengan para kontraktor migas lama.

"PP ini hanya mengatur yang belum diatur dari yang selama ini ada ketidakpastian sehingga perlakuannya menjadi berbeda-beda. Dengan PP ini diharapkan ada kepastian hukum, mana yang boleh dan tidak boleh," ujarnya.

Kedua, lanjut Syarifuddin, kebijakan cost recovery tersebut sesuai dengan Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan baru yang mengamanatkan revisi PP cost recovery.

Ketiga, kebijakan baru tersebut dilakukan sesuai dengan harga wajar dan prinsip-prinsip kewajaran atau sesuai dengan praktik bisnis dan keteknikan yang baik.

"Ada pula hal-hal yang tidak boleh dibebankan dalam cost recovery. Tadinya ada 17 item, dalam PP ini ditambah menjadi 24 jenis biaya yang tidak boleh dibebankan," ungkapnya.

Selain itu, dalam rangka meningkatkan produksi migas, Syarifuddin menyatakan kontraktor dibebaskan pungutan bea masuk dan pajak dalam rangka impor (PDRI) pada saat impor barang-barang untuk kebutuhan operasi. Untuk KKKS lama (excisting contract), ada delapan item yang harus menyesuaikan dengan PP baru tersebut.

"Untuk itu diberikan waktu bagi excisting contract disesuaikan dengan PP baru dalam waktu tiga bulan," jelasnya.

Selain itu pemerintah akan mengenakan pajak penghasilan final (PPh) maksimal tujuh persen atas keuntungan dari aktivitas kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) migas di luar yang disepakati dengan pemerintah.

"Kalau kontraktor memperoleh penghasilan lain selain yang ada di dalam kontrak, maka dia dikenakan pajak. Contoh mengalihkan saham pada kontraktor lain, maka keuntungannya dikenakan pajak karena asetnya di Indonesia. Partisipasi interest harus kena pajak dan diatur secara final," katanya.

Syarifuddin menyatakan, proses perumusan PP tersebut sudah berlangsung selama dua tahun yang melibatkan Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, BP MIgas, dan para pemangku kepentingan (stakeholder).

"Untuk pengalihan participating interest sudah diatur akan dikenakan PPh yang sifatnya final atas gain yang diperoleh sebesar lima persen dari jumlah bruto pengalihannya. Itu pada masa eksplorasi. Dasarnya UU PPh pasal 26 dan rata-rata di-deem untuk memudahkan pengenaan pajaknya. Tapi kalau pada masa eksploitasi tarifnya naik jadi tujuh persen," paparnya.

Namun, lanjut Syarifuddin, aturan tersebut dikecualikan untuk pengalihan saham terhadap daerah atau investor lokal, maka akan dibebaskan dari PPh.

"Kan KKKS wajib mengundang investor lokal untuk ikut dalam partisipasi kontrak KKKS. Karena ketentuan itu wajib menjual kepada lokal, itu dikecualikan. Selama ini dikenakan dengan tarif lebih besar, secara umum dikenakan 20 persen. Sekarang lima persen pada masa eksplorasi dan tujuh persen di masa eksploitasi," jelasnya.
(A039/B010)

Pewarta:
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010