Jakarta (ANTARA News) - “Ada tak menggenapkan, tiada tak mengganjilkan”. Peribahasa lawas ini sangat sarat makna. Setiap insan dituntut memainkan lakon profesional sesuai dengan relungnya (niche). Jangan berpuas diri sebagai just the way it is (apa adanya), atau malahan sepi kontribusi berarti dalam konstelasi kehidupan ini.

Bangsa besar tak pernah penat berinovasi dan berkarya dalam dimensi ruang manapun, waktu kapanpun, dan kondisi apapun, untuk terus menangguk segenap prestasi.

Revolusi industri abad 18 yang berawal di Inggris telah mengubah wajah dunia ini dari heningnya karya menjadi hiruk pikuk mesin industri dan lalu lalang pekerja serta kaum profesional. Ini wujud pengejawantahan dari asa yang selalu ingin terdepan dan cita yang mengangkasa.

Kalahnya Jerman 9 Mei 1945 pada sekutu menyisakan keporak-porandaan. Keterpurukan pasca perang dunia ke 2 ini dijuluki jam nol (Stunde Null). Namun ajaib, di bawah Kanselir Konrad Adenauer (1949 – 1967), Jerman menyeruak sebagai kekuatan ekonomi.

Jepang setelah luluh lantak akibat kecamuk perang, bangkit sebagai ekonomi cemerlang (1967). Tiga besar raksasa ekonomi dunia ditenggeri Amerika Serikat, Jepang, dan Jerman.

Merseyside Maritime Museum di Liverpool yang pernah saya singgahi berkisah tentang pembuangan narapidana ke suatu benua nun jauh di timur bernama Australia. Para narapidana inilah yang selanjutnya menjadi penghela awal benua gersang ini menjadi salah satu negeri makmur.

Ketika berkesempatan beranjangsana ke Australia, Desember 2010, dengan bangganya pemandu berceloteh bahwa bangunan kuno yang berseberangan dengan Hyde Park di Sydney adalah buah karya para narapidana tersebut.

Diakui bahwa majunya Australia disokong oleh para keturunan Inggris. Keterikatan bangsa Australia dengan leluhurnya masih terjalin utuh melalui adanya gubernur jenderal, dan tergabung dalam persemakmuran (commonwealth).

Bangsa Inggris salah satu bangsa unggul yang patut diteladani daya cipta dan kreasinya. Tengok saja dimana bangsa ini mengkolonisasi, disitulah kemajuan dan kemakmuran bersemi.

Nenek moyang bangsa Amerika Serikat, Kanada, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan tak dipungkiri bermuasal Inggris. Namun nafsu ekspansi dan imperialisme yang menghegemoni dan mengkooptasi bangsa lain pada masa kolonialisme tak patut ditiru.

Saksikan Singapura, Malaysia, India, ke semua mantan koloni Inggris ini terlecut berikhtiar keras, terstruktur, dan bervisi, mengikuti jejak untuk menjadi negeri makmur, dan saat ini mulai menuai hasil.

Hongkong mantan koloni Inggris merupakan kompensasi kekalahan Tiongkok pada perang candu (opium war) tahun 1842. Resmi dikembalikan ke Tiongkok tahun 1997, saat koloni ini menikmati kemajuan dan kemakmuran yang jauh membelakangi Tiongkok.

Kegemilangan Masa Lalu
Tak bermaksud untuk European minded. Perjalanan sejarah bangsa kita pun, pernah terukir gemilang sebagai pusat niaga, sebutlah Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit. Para taipan Tiongkok dan saudagar Arab, Gujarat, berdatangan ke bumi Nusantara ini mengadu peruntungan untuk berdagang.

Bahkan selanjutnya tercipta kantong-kantong pemukiman Arab di hampir seluruh kota di penjuru negeri ini. Pecinan tempat saudara kita keturunan Tionghoa mengepakan bisnisnya juga tersebar di pelosok negeri.

Sejarah juga telah membukukan bahwa bumi pertiwi ini pernah menjadi tempat pengembaraan idaman para pebisnis Eropah seperti: VOC, pedagang Spanyol, Portugis, Inggris. Jadi negeri kita memiliki semua, mulai dari kestrategisan lokasi yang telah dibuktikan via singgahnya para pengembara di bumi khatulistiwa ini.

Sumberdaya alam hayati dan non hayati yang melimpah. Pertamina, PT Timah, PT Perkebunan Nusantara adalah kiprah bisnis yang awalnya dikembangkan oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Majalah Forbes (2010) melaporkan tumbuhnya 7 orang kaya baru (OKB) di Indonesia. Posisi tertinggi OKB tersebut masih bergantung pada sumberdaya alam tak terbarukan batubara. Pundi-pundi total kekayaan 150 orang kaya mencapai 61,5 miliar dolar AS, merepresentasikan 22 % PDRB.

Dari fakta ini tampak kesenjangan. Sebagian besar kue kekayaan hanya dimiliki oleh 150 orang. Trickle down effect yang menjadi mazhabnya pembangunan Orde Baru rupanya belum cukup ampuh memeratakan hasil pembangunan.

Salah satu dari ketidakmerataan kue pembangunan tersebut terekam dengan kasat dari kekumuhan, berkeliarannya kemiskinan di lampu merah, berserakannya sampah dimana-mana. Tiga hal inilah yang membuat turis tak merasa nyaman melancong ke bumi Nusantara yang elok ini.

Pada era 80-an, hanya orang yang benar-benar papa karena kecacatan yang menadahkan tangan, itupun dibungkus dengan perasaan malu. Sekarang ini, pengemis dikondisikan sebagai sebuah profesi, melalui perekrutan bayi, anak-anak, manula, kecacatan bersahaja, atau mengatasnamakan suatu keyakinan.

Pergeseran Mindset
Keunikan alam, budaya, adat istiadat, dan peninggalan sejarah berupa candi serta situs sejarah belum optimal diutilisasi. Dalam memasarkan keunikan terumbu karang dan memanfaatkan pulau-pulau kecil, kita kalah dengan negara-negara di Karibia. Dalam mempromosikan hutan hujan tropis sebagai lokasi pelancongan, kita pun kalah bersaing dengan Malaysia.

Beraneka ragamnya koleksi pertunjukan budaya membuat kita alpa mengapresiasinya. Manakala tari pendet, reog ponorogo, lagu rasa sayange dipakai sebagai media promosi oleh negeri jiran, kita menjadi kebakaran jenggot. Pertunjukan budaya asli Nusantara tersebut langka ditayangkan di media elektronik kita.

Generasi muda lebih tergiur budaya kontemporer ketimbang budaya yang mereka anggap usang tersebut. Lebih silau pada hal-hal instant dan artifisial daripada sesuatu yang berproses via keuletan.

Ketika Januari 2010 bertandang ke Jerman, remaja di sana bahkan tak banyak yang kenal facebook. Handphone mereka pun pada jadul. Bandingkan remaja kita yang sangat gemar gonta-ganti HP berbagai merek. Inilah buah perdagangan bebas yang lambat-laun mengenyahkan sektor manufaktur kita dengan barang murah dari negeri seberang, dan menggiring kita sebagai negeri konsumtif.

Kita bahkan cenderung tak menghargai produk bangsa sendiri. “Mental tempe” diplesetkan sebagai ungkapan sarkastik berkonotasi buruk. Padahal apa yang salah dengan tempe, produk asli negeri kita? Rustono (king of tempe) pemuda Indonesia yang bermukim di Jepang telah berhasil dan bangga menyulap tempe menjadi varian makanan yang diperhitungkan di Jepang.

Ada yang tak bagus dalam mindset bangsa ini. Penggalan frase “kualitas ekspor” dengan mutu lebih baik daripada barang untuk konsumsi dalam negeri, secara tak sadar menginferiorkan bangsa sendiri dengan barang berkualitas rendah.

Padahal bangsa lain mati-matian memperjuangkan harkatnya menjadi bangsa nomor satu. Jadi marilah pada awal tahun 2011 ini kita merajut asa setinggi cakrawala, untuk menjadi bangsa yang kreatif, inovatif, dan produktif. Walaupun mulanya mungkin dicemooh sebagai “mengecat langit” dan utopia.

*) Sekretaris Eksekutif PPLH IPB

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011