Tangkapan layar William Buntoro (72) yang terdiagnosis demensia Alzheimer mild stage pada tahun 2018. (ANTARA/Lia Wanadriani Santosa)


Pengalaman orang dengan demensia

Pentingnya deteksi dini demensia Alzheimer dirasakan salah satunya oleh William Buntoro (72). Pria yang kini masih bekerja di bidang koperasi perusahaan itu terdiagnosis demensia Alzheimer tahap sedang atau mild stage pada tahun 2018.

Gejala awal yang dia rasakan yakni lupa, mulai dari tak ingat lokasi menyimpan barang-barangnya, hari hingga tak ingat arah jalan pulang ke rumah.

“Suatu saat di rumah anak di Riau, iseng setelah magrib jalan. Rumah itu berdekatan dengan pertokoan. Asiknya berjalan saya lupa pulang ke arah mana padahal jalan itu lurus. Untung saya bawa handphone, minta dijemput,” kata dia.

Setelah mengalami masalah ini, dia lalu berkonsultasi dengan dokter spesialis saraf dan menjalani pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI). Hasilnya pemeriksaan, dokter mencurigai ada pengecilan di otak William.

Berbekal hasil pemeriksaan MRI, William kemudian diminta berkonsultasi dengan dokter spesialis fungsi luhur di salah satu rumah sakit kawasan Jakarta. Di sana dia menjalani semacam psikotes selama kurang lebih 3 jam, sebelum akhirnya Kembali berkonsultasi ke dokter saraf yang menanganinya. Hasilnya, dokter mengatakan adanya pengecilan di otak William.

Ketika William menanyakan penyebab, dia mendapati kemungkinan akibat stres pekerjaan yang selama ini dialami.

Baca juga: Penyakit demensia-alzheimer hanya lima persen faktor turunan

William kini masih rutin melakukan konsultasi dengan dokter sembari meminum obat yang diresepkan padanya.

Menurut Direktur Eksekutif Alzheimer Indonesia (ALZI), Michael Dirk R. Maitimoe, saat seseorang dengan gejala-gejala termasuk lupa yang sudah mengganggu kegiatan sehari-hari atau memerlukan bantuan orang lain, maka ini pertanda dia perlu segera melakukan deteksi dini.

Dari sisi usia, Michael mencatat, demensia yang awalnya banyak dialami orang berusia 65 tahun ke atas, saat ini ditemukan pada usia lebih muda yakni 50 tahun-an. Menurut dia, temuan ini bisa menjadi perhatian orang-orang bahwa demensia bisa dialami bukan hanya kalangan lanjut usia.

Di sisi lain, COVID-19 yang menjadi pandemi sejak setahun terakhir meningkatkan kemungkinan seseorang terkena demensia dan menyebabkan gejala demensia muncul lebih awal.

Pakar neurologi sekaligus direktur Banner Sun Health Research Institute di Amerika Serikat, Dr. Alireza Atri seperti dilansir dari CNBC menjelaskan, COVID-19 dapat merusak pembuluh mikro di otak, merusak kekebalan tubuh, dan menyebabkan peradangan. Kondisi ini dapat memberikan akses lebih mudah pada hal-hal yang dapat membahayakan otak dan menyebabkan gejala gangguan neurologis seperti demensia, muncul lebih awal.

Sementara itu, menurut Kepala Eksekutif Alzheimer's Disease International (ADI), Paola Barbarino, pemahaman yang lebih jauh mengenai hubungan antara COVID-19 dan demensia dapat membantu pihak berwenang untuk mengelola peningkatan prevalensi demensia, dan mengidentifikasi gejala sedini mungkin.

Dia mengatakan, mengetahui gejala demensia memungkinkan orang untuk mencari lebih banyak informasi, saran dan dukungan, yang berpotensi mengarah pada diagnosis.

Baca juga: Pola diet mediterania, tubuh langsing dan cegah demensia

Baca juga: Amanda Fedora ajak pendengar peduli Alzheimer lewat lagu "Wanderer"

Baca juga: Manfaat susu almond, turunkan berat badan hinggah cegah Alzheimer

Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2021