Jakarta (ANTARA News) - Akhirnya, setelah berbagai kalangan dan elemen masyarakat melakukan desakan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan telah menaikkan status kasus mafia pajak yang berkaitan dengan Gayus Halomoan Tambunan ke tingkat penyelidikan.

Artinya secara resmi KPK mulai turun tangang.

Kepastian tersebut terlontar saat Ketua KPK, Busyro Muqoddas, mengantar penasehat hukum terdakwa kasus mafia pajak Gayus Halomoan Tambunan, yakni Adnan Buyung Nasution, keluar dari gedung lembaga antikorupsi tersebut, setelah menyampaikan informasi yang dibutuhkan KPK untuk menindaklanjuti kasus tersebut.

Busyro mengiyakan bahwa kasus mafia pajak sudah naik kepenyelidikan, dan Buyung yang memiliki informasi mafia pajak yang diperlukan KPK akan membantu sepenuhnya agar jaringan mafia pajak yang melibatkan mafia hukum di negeri ini segera terungkap.

Ketua KPK menegaskan bahwa siapa saja yang terkait dan dirasa diperlukan informasinya untuk dapat meningkatkan status penyelidikan mafia pajak menjadi penyidikan akan segera diperiksa.

Sebelumnya setiap kali ditanya, baik pimpinan hingga juru bicara KPK hanya menyatakan bahwa pihaknya sedang melakukan penelurusan, pengumpulan data-data dan informasi yang dapat memudakan KPK menindaklanjuti kasus mafia pajak ini.

Berbagai tokoh maupun instansi mendatangi dan didatangi KPK. Mulai dari Satgas Pemberantasan Mafia Pajak yang mendatangi KPK untuk menyerahkan beberapa data dan informasi, Koalisi Masyarakat Antikorupsi yang didukung berbagai tokoh mulai dan lembaga swadaya masyarakat seperti Indonesia Corruption Watch (ICW), Indonesia Police Watch (IPW), Transparency International of Indonesia (TII), Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Effendy Ghazali, Bambang Widodo Umar datang memberi data terkait kasus mafia pajak, dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) didatangi KPK untuk berkoordinasi dan meminta data aliran dana Gayus Halomoan Tambunan.

Buyung pun akhirnya mendatangi KPK untuk membeberkan semua apa yang didapat dari kliennya terkait keberadaan mafia pajak dan mafia hukum. Praktisi hukum senior menegaskan kekecewaannya atas kinerja polisi dan jaksa yang dinilai tidak dapat menyelesaikan kasus mafia pajak.

Gayus, menurut dia, tidak puas dengan kinerja polisi dan jaksa yang tidak berbuat banyak walau dalam pledoinya Gayus telah membeberkan semua soal keberadaan mafia pajak dan hukum tersebut. Karena itu, berdasarkan data dan informasi yang didapat Buyung dari Gayus dan diberikan pada KPK, diharapkan dapat segera memeriksa 140 perusahaan yang telah disebutkan kliennya saat persidangan.

Di tempat terpisah, Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan akan segera menemui KPK guna menyelesaikan kasus Gayus Halomoan Tambunan dan mafia pajak. Ia menambahkan Kememteriannya akan membantu lembaga antikorupsi ini untuk melakukan reformasi di Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak.


Reformasi pajak

Karut-marut perpajakan sudah lama disadari sehingga desakan melakukan reformasi birokrasi begitu kencang dialamatkan pada Ditjen Pajak, mengingat kebocoran pajak selama ini sangat besar dengan angka nilai triliunan rupiah.

Mantan pimpinan KPK yang juga pernah menjadi Dirut PT Timah Tbk dan Komisaris PT Kaltim Prima Coal, Erry Riana Hardjapamekas menegaskan bahwa reformasi pajak wajib dilanjutkan dengan mengacu pada praktik-praktik terbaik di negara lain.

Selain itu, ia mengatakan perlu dilakukan optimasi antara kepastian bagi pembayar pajak dan pengawasan yang cukup bagi aparat perpajakan. Penggalian potensi-potensi pajak penerimaan pajak dan insentif perpajakan yang mendukung iklim investasi juga harus dilakukan.

Reformasi pajak yang wajib dijalankan, lebih lanjut ia menjelaskan harus meliputi juga reformasi kelembagaan demi efektivitas pelaksanaan tupoksinya.

Dalam pledoi terdakwa kasus mafia pajak Gayus Halomoan Tambunan menyebutkan beberapa modus kejahatan pajak yang merugikan negara triliunan rupiah. Pertama, negosiasi di tingkat pemeriksaan pajak oleh tim pemeriksa pajak, sehingga output pemeriksaan, yaitu Surat Ketetapan Pajak (SKP) tidak mencerminkan nilai yang sebenarnya, baik itu SKP kurang bayar maupun SKP lebih bayar dalam rangka restitusi pajak.

Kedua, negosiasi di tingkat penyidik pajak, misalnya dalam mengungkapkan penyidikan atas faktur pajak fiktif, di mana atas penggunaan faktur pajak fiktif selain dihimbau untuk pembentulan SPT Masa PPN juga di takut-takuti untuk berubah statusnya dari saksi jadi tersangka, yang ujung-ujungnya adalah uang, sehingga status pengguna faktur pajak fiktif tersebut tetap sebagai saksi.

Ketiga, penyelewengan fiskal luar negeri dengan berbagai macam modus di bandara-bandara yang melayani rute penerbangan internasional sebelum berlakunya Undang-Undang KUP yang baru pada 1 Januari 2008, di mana kepada setiap orang yang bepergian keluar negeri diwajibkan membayar fiskal sebesar Rp2,5 juta.

Keempat, penghilangan berkas surat permohonan keberatan wajib pajak sehingga pada saat jatuh tempo penyelesaian keberatan, 12 bulan, permohonan tersebut tidak selesai atau belum diproses, sehingga sesuai Pasal 26 ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 2000, Dirjen Pajak dalam jangka waktu 12 bulan sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan berapa rupiah pun nilai keberatan yang dimintakan.

Kelima, penggunaan perusahaan di luar negeri, khususnya Belanda, di mana terdapat celah hukum pembayaran bunga kepada perusahaan Belanda d mana bunga tersebut lebih dari dua tahun, maka dikenakan PPh Pasal 26 nol persen. Di sini terdapat potensi penggelapan pajak PPh Pasal 25 (badan) dan PPh Pasal 26 atas biaya bunga yang dibebankan tersebut, dan potensi tersebut dapat mencapai ratusan miliar rupiah, bahkan triliunan rupiah.

Keenam, kerugian investasi yang dibukukan dalam SPT Tahunan, hal ini dikarenakan adanya kerugian akibat pembelian dan penjualan saham antar perusahaan yang diduga masih satu grup (dilakukan oleh orang-orang dalam suatu sindikat), di mana di duga tidak pernah ada transaksi tersebut secara riil, dan nilai jual beli saham perusahaan tersebut tidak mencerminkan nilai tersebut, sehingga mengakibatkan wajib pajak tidak membayar PPh Pasal 25 (badan) karena kerugian tersebut dibebankan sebagai biaya sehingga menggerus atau menguras keuntungan perusahaan dari usaha realnya. Potensi tersebut dapat mencapai ratusan miliar rupiah bahkan triliunan rupiah.

Menurut Gayus, mantan pegawai pajak golongan IIIA yang baru ditetapkan tersangka atas pemalsuan paspor masih banyak modus penyelewengan pajak yang juga dapat menyebabkan kerugian negara sangat besar. Dan hal menarik yang ia tulis dalam pledoinya yang berjudul "Indonesia Bersih, Polisi dan Jaksa Risih, Gayus Tersisih" yakni sebelum tahun 2007, pegawai di Ditjen Pajak sendiri menyebut era tersebut sebagai jaman jahiliyah karena sulit menemukan pejabat atau pun aparat yang benar-benar bersih di jajaran Direktorat Jenderal Pajak. (V002/K004)

Oleh Oleh Virna Puspa Setyorini
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011