Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi terkait pasal hak penghentian penyidikan yang diajukan oleh Hengky Baramuli.

"Permohonan pemohon tidak dapat diterima," kata Ketua Majelis Hakim MK Achmad Sodiki yang didampingi enam hakim konstitusi lainnya, di Jakarta, Kamis.

Pemohon uji materi, Hengky Baramuli, merupakan salah satu tersangka penerima aliran dana pemilihan Deputi Gubernur Senior (DGS) BI Miranda S Goeltom.

Menurut Mahkamah Konstitusi, permohonan pemohon yang meminta agar KPK mempunyai hak penghentian penyidikan tidak dapat diterima, karena pasal 40 UU KPK telah beberapa kali diuji ke MK, salah satunya diajukan oleh Mulyana Wirakusumah beserta sejumlah tersangka kasus korupsi KPU lainnya dan telah ditolak MK.

"Pasal 40 yang berbunyi Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi. Pasal tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945, sehingga permohonan ditolak," kata Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva.

MK juga mengungkapkan bahwa ketentuan tersebut justru mencegah KPK melakukan penyalahgunaan wewenangnya yang sangat besar.

Dalam UU, KPK berhak untuk melakukan supervisi terhadap dan mengambilalih penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi dari aparat penegak hukum lain.

"Jika KPK diberi kewenangan mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan terhadap perkara korupsi yang ditangani penegak hukum lainnya, dikhawatirkan wewenang tersebut disalahgunakan," kata Hamdan.

Sebelumnya, mantan anggota DPR dari Fraksi Golkar Hengky Baramuli melalui kuasa hukumnya Farhat Abbas mengajukan permohonan pengujian UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Baramuli menilai Pasal 40 merupakan norma yang diskriminatif karena tidak memungkinkan adanya proses penghentian penyidikan dan penuntutan.  Padahal tidak semua proses penyidikan atau penuntutan belum tentu bermuara ke proses persidangan.

Selain itu, Pasal 40 juga dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum serta melanggar asas praduga tidak bersalah.(*)

J008/A041

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011