"Dialog itu tidak dilakukan sekarang, tetapi saat masyarakat sudah berada di hunian sementara," kata Sultan HB X.
Yogyakarta (ANTARA) - Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta merilis peta kawasan rawan bencana (KRB) Merapi baru pasca-letusan besar November 2010 yang ditengarai merupakan periode 100 tahun gunung api aktif itu.

Peta kawasan rawan bencana tersebut telah menunjukkan secara jelas wilayah yang masuk daerah rawan ancaman primer letusan Gunung Merapi yang berupa pyroclastic flow atau aliran awan panas, yaitu di KRB III.

Berdasarkan peta KRB baru itu, perubahan cukup drastis terjadi di dua kawasan, yakni di sisi selatan yang meliputi Kali Gendol dan di sisi barat yang berada di Kali Putih.

Di kedua sungai yang berhulu di Gunung Merapi tersebut, jarak KRB III Merapi ditetapkan sejauh 15 kilometer (km) untuk Kali Gendol dan 12 km untuk Kali Putih, sedang kawasan lain masih tetap sama dengan peta sebelumnya yaitu dengan jarak enam hingga tujuh kilometer dari puncak Gunung Merapi.

"Melalui gambaran kejadian letusan yang terekam dalam peta ini, maka kami merekomendasikan bahwa wilayah yang masuk dalam KRB III tidak dijadikan sebagai lokasi permukiman mengingat ancaman primer letusan Gunung Merapi," kata Kepala BPPTK Yogyakarta Subandriyo.

Namun demikian, BPPTK Yogyakarta tidak dapat memaksakan rekomendasi tersebut agar menjadi keputusan di tingkat pemerintah, karena pemerintah daerah setempat yang memiliki kewenangan untuk menentukan layak tidaknya sebuah wilayah untuk dijadikan lokasi permukiman.

Meskipun tidak direkomendasikan sebagai lokasi permukiman, namun wilayah tersebut masih dapat dimanfaatkan sebagai wilayah budidaya, khususnya untuk pertanian.

Khusus di Kabupaten Sleman, wilayah yang masuk dalam KRB III di antaranya meliputi delapan dusun yang masuk dalam dua kecamatan, yaitu Ngemplak dan Cangkringan.

Dusun tersebut diantaranya adalah Dusun Kinahrejo, Dusun Ngrangkah, dan Dusun Pangukrejo di Desa Umbulharjo, serta Dusun Petung, Kaliadem, Jambu, Kopeng, Kalitengah Lor di Desa Glagaharjo yang berada di Kecamatan Cangkringan, Sleman.

Peta KRB Merapi tersebut dicetak oleh BPPTK dengan skala 1:50.000 sehingga perlu dilengkapi dengan peta operasional lain dengan skala yang lebih besar sehingga bisa menampilkan detil yang lebih banyak.

BPPTK Yogyakarta telah menyosialisasikan peta KRB tersebut ke Pemerintah Kabupaten Sleman, dan rencananya juga akan melakukan sosialisasi ke tiga kabupaten lain yaitu Magelang, Klaten dan Boyolali yang masuk Provinsi Jawa Tengah.

Namun demikian, sosialisasi yang dilakukan BPPTK tersebut baru sebatas kepada jajaran pemerintah saja, belum menyasar ke penduduk yang berhadapan langsung dengan ancaman bencana.

Masyarakat Dusun Pangukrejo, Kecamatan Cangkringan, Sleman berharap, pemerintah daerah dapat segera memberikan sosialisasi terkait peta KRB baru tersebut.

Partini, salah seorang warga Dusun Kaliadem Kecamatan Cangkringan berharap, pemerintah segera memberikan sosialisasi terkait peta tersebut sehingga masyarakat segera tahu sikap yang harus diambil.

"Apa boleh membangun rumah di lokasi yang sudah rata dengan tanah atau tidak. Petanya harus segera disosialisasikan ke masyarakat," katanya.

Jadi disposisi

Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X menyatakan, peta KRB baru yang telah disusun BPPTK Yogyakarta tersebut baru akan menjadi disposisi, dan belum akan menjadi dasar relokasi warga.

Oleh karena itu, Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat tersebut belum akan mewacanakan kebijakan untuk merelokasi warga di KRB III, sesuai rekomendasi BPPTK yang menyatakan kawasan tersebut hanya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan budidaya.

Sultan menilai, kebijakan relokasi tersebut harus dipikirkan dan dikaji secara mendalam, khususnya melalui dialog dengan masyarakat bersangkutan.

"Dialog itu tidak dilakukan sekarang, tetapi saat masyarakat sudah berada di hunian sementara," kata Sultan HB X.

Bupati Kabupaten Sleman, Sri Purnomo, mengatakan bahwa peta KRB Merapi bukan merupakan satu-satunya penentu relokasi bagi warga di kawasan tersebut, tetapi juga akan mempertimbangkan faktor sosial dan budaya masyarakat.

"Kami masih melakukan pengkajian, dan peta tersebut menjadi acuan dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat. Nanti masyarakat akan memperoleh penjelasan," katanya menambahkan.
(T.E013/P003)

Oleh Eka Arifa Rusqiyati
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011