Jakarta (ANTARA News) - Penerapan azas Cabotage oleh Pemerintah yang mewajibkan industri perkapalan yang beroperasi di perairan Indonesia menggunakan bendera Indonesia belum optimal dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan industri perkapalan nasional.

Pengamat kelautan Budiono Kusumohamidjojo, di Jakarta, Selasa, mengatakan hal ini disebabkan lemahnya koordinasi lintas lembaga di dalam kementerian terkait dengan industri ini serta masih enggannya perbankan memberikan modal investasi bagi industri perkapalan dalam negeri dengan kompensasi bunga rendah seperti yang dilakukan di negara lain.

"Asas cabotage yang diterapkan mulai 2005 itu ditujukan untuk melindungi industri kapal dalam negeri, sayangnya industri kita belum bisa memenuhi kebutuhan kapal dalam negeri. Kita sangat terlambat untuk ini. Tidak ada koordinasi antara Ditjen (direktorat jenderal) Laut Kementerian Perhubungan dengan Kementerian Kelautan," kata Budiono yang juga Senior Adviser PT Manamac Indonesia.

Menurut dia, secara undang-udang, pemerintah tidak komprehensif menyusun berbagai kebijakan terkait upaya mendorong industri perkapalan dalam negeri, sehingga Undang-undang Perkapalan 2008 itu tidak menjadi insentif pembangunan industri perkapalan dalam negeri karena tidak mengatur soal sumber dana untuk investasi tersebut.

"Membuat pabrik kapal itu minimal butuh investasi sekitar 600 juta dolar AS. Uang dari mana jika perbankan dalam negeri masih memberikan bunga 12-13 persen, sementara dari luar (investor asing) diberi rate pada level 5-6 persen. Ini jadi dilematis untuk industri perkapalan di dalam negeri, sehingga tidak mandiri," katanya.

Dengan kondisi seperti ini, menurutnya masih ada investor asing yang menguasai armada perkapalan di dalam negeri secara terselubung di tengah penerapan azas cabotage tersebut.

Sebagai misal, mereka memasang bendera Indonesia di kapalnya, atau melalui penyertaan modal ke armada dalam negeri secara besar-besaran.

Terkait hal ini, Boediono mengingatkan bahwa tidak lama lagi organisasi perdagangan dunia (WTO) akan melayangkan gugatan terhadap Pemerintah atas penerapan azas cabotage di indonesia.

"Ini soal waktu saja, karena kemungkinan (gugatan) ini sangat terbuka," kata Budiono.

Menurutnya, WTO memiliki berbagai alasan kuat untuk mengingatkan Indonesia karena azas cabotage berlaku seperti aksi proteksionisme, sehingga negara yang punya industri kapal yang kuat tidak berkesempatan menguasai pelayaran di Indonesia.

Dengan kondisi sekarang, Budiono menegaskan, keberadaan azas cabotage menjadi tidak efektif bagi kepentingan industri perkapalan Indonesia karena belum bisa menyanggupi kebutuhan kapal angkutan lintas pulau, terutama dalam mengangkut komoditas seperti batu-bara dan minyak mentah.

Untuk itu, Budiono menyarankan agar Pemerintah kembali membuka diri terhadap keterlibatan asing di industri perkapalan nasional namun dibatasi untuk kapal dengan kapasitas besar.

Ia mengakui, saat ini sulit untuk memastikan berapa banyak armada resmi dalam negeri yang beroperasi di perairan Indonesia. Pasalnya, banyak kapal dengan kapasitas angkut di bawah 700 ton tidak terdaftar di asosiasi, tetapi beroperasi.
(D012/B010)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011