Manakala kamu menghadiri sebuah pesta dengan tetamu kehormatan, kentut lah sebanyak-banyaknya, sebab kentutmu itu wangi
Dalam situasi tertentu kita sering melamun alias membayangkan alias Bahasa Jawanya songgo uang (uang kok disangga?).  Konon, di negeri yang super-otoriter, melamun itu sangat-sangat istimewa, mengingat ia satu-satunya jalan kebebasan bagi para individu. Melamun itu bebas membayangkan –seperti gadis penjual korek apil, karya HC Anderson.

Dan kalau cara melawan otoritarianisme adalah dengan lelucon. Gus Dur menjelaskannya dengan cukup bagus dalam kata pengantar buku lelucon tahun 1980-an, “Mati Ketawa Cara Rusia”.

Tapi kalau rezimnya sangat otoriter, lelucon pun di larang, membayangkan pun dilarang. Otak-otak manusia diawasi betul oleh aparat-aparat tak tampak yang siap meneror sewaktu-waktu. Ketika setiap individu diawasi rezim negara, maka situasinya mencekam seperti novel George Orwell, “1984”.

Pada era Orde Baru, kita merasa ada kebebasan yang dibelenggu. Dalam porsi tertentu, situasi kita dulu serba-dilematis. Para pedamba kebebasan, sering terbentur oleh konsekuensi prioritas pembangunan nasional yang mempersyaratkan stabilitas politik dan keamanan.

Akibatnya, sewaktu-waktu, bisa saja Anda berhadapan dengan aparat penegak ideologi, manakala aktivitas Anda dipandang menyimpang dari tafsir politik negara.

Tapi, kini, pada era reformasi yang demokratis ini, kita tentu bebas membayangkan, bahkan sebatas masih dipandang layak dan pantas, kita boleh mengekspresikan hasil membayangkan kita itu untuk konsumsi publik.
Kita tak bisa membayangkan bagaimana nasib Butet Kertaredjasa yang suka bermonolog memperolok para politisi, bahkan menyerempet-nyerempet penguasa negeri ini, apabila eranya masih era masa lalu.

Dengan berkembangnya sosial-media (misalnya dengan twitter) orang bisa bebas mengutarakan pendapatnya tentang apa saja, dengan bahasa yang lugas, bahkan pedas.

Bahkan para tokoh agama sekalipun juga bebas mengkritik pemerintah, yang menyebabkan mereka kemudian diundang ke istana. Pemerintah tentu tidak bisa bersikap otoriter dan tertutup pada era keterbukaan informasi yang melimpah seperti sekarang.

Uraian di atas pengantarnya.

***
Uraian selanjutnya di bawah ini, intinya.
Karena membayangkan itu bebas, apalagi pada era demokrasi ini, maka suatu hari Dul tiba-tiba ingin jadi ilmuwan yang bisa menciptakan sesuatu. Dan dengan sesuatu itu, ia bercita-cita mengentaskan kemiskinan. Karena kalau ia kaya, maka ia berkesempatan emas untuk jadi filantropis.

Ia melamunkan dirinya bisa menyaingi Bill Gates atau Mark Zuckerberg, dan melejit sebagai orang terkaya tingkat dunia.

Ia tidak memilih melamun untuk bisa menciptakan alias menyulap air jadi bensin. Ia juga tak memilih melamun bisa menciptakan bibit padi super-unggul. Tapi lamunannya, bisa jadi lebih gila lagi.

Dul membayangkan dirinya mampu membuat ramuan jamu dari khazanah herbalistik Indonesia yang melimpah ini. Ramuan macam apakah gerangan yang dibayangkan Dul? Benar tebakan Anda. Ramuan yang membuat peminumnya kalau kentut baunya berubah wangi.

Ketika ia menyampaikan hasil lamunannya itu padaku, aku bilang jangan ganggu aku dengan mendengarkan lamunan anehmu itu: buang-buang waktu percuma. Tapi ia terus nerocos saja –sehingga aku pun larut pula dalam lamunannya.

Bagaimana saudara, kalau saja aku menemukan ramuan ajaib itu, yang bisa membuat bau kentut jadi wangi? Revolusi macam apakah yang akan terjadi?

Orang-orang akan melupakan bercita-cita punya komputer seluler tablet mereka, untuk mendapatkan ramuan itu. Industri minyak wangi akan sedikit terganggu –lama-kelamaan bisa bangkrut.

Tata-pergaulan masyarakat juga akan berubah. Bisa jadi Anda akan menyarankan kepada yang lain begini, ”Manakala kamu menghadiri sebuah pesta dengan tetamu kehormatan, kentut lah sebanyak-banyaknya, sebab kentutmu itu wangi”.

Dan, bayangkan, kapitalisme pendistribusian ramuan kentut itu akan berkembang. Para pedagang ayam goreng dan sayur-sayuran di gang-gang kecil kita segera meninggalkan profesi mereka, berlomba-lomba dengan lulusan perguruan tinggi, berebut menjadi distributor alias penyalur, tepatnya pengecer resmi ramuan itu.

Dul sendiri, biar orang menjuluki Si Raja Kentut, mendadak kaya karena telah mempatenkan penemuannya. Tersohor bukan main. Tapi ke mana-mana perlu pengawalan ketat: takut diculik orang-orang jahat, termasuk teroris.

Dul sendiri lebih populer ketimbang presiden. Para politisi berebut sowan minta restu –alias, konkritnya sumbangan untuk kessuksesan karir politik masing-masing.

Berbagai buku terbit mengulas fenomena ini. Ramuan bajakan muncul di mana-mana –walaupun bau kentut hasil ramuan ini tak sewangi ramuan bikinan pabriknya Dul. Bisnis ini berkembang ke dalam rupa-rupa diversifikasi produk.

Karena kentut itu wangi, maka ia bisa diwadahi plastik, dan dijual lagi sebagai pengharum ruangan –baik pewangi rumah, gedung, maupun mobil pribadi Anda. Di wilayah selebriti juga berkembang bisnis baru: mereka jualan kentut masing-masing, dengan kemasan plastik dengan dibubuhkan nama sang artis.

Lamunan soal kentut wangi ini, semakin jauh tak tentu arah.

Hingga akhirnya, bau wangi itu sendiri menjadi biasa alias tidak eksklusif lagi. Orang-orang yang mengklaim bermadzab naturalis, mulai mengkampanyekan gerakan cinta bau sampah. Bau sampah kian dirindukan, dicintai setengah mati.

Mereka membeberkan kisah yang sangat disukainya. Kisah gelandangan yang pingsan di depan toko minyak wangi. Ketika masyarakat gempar, teman gelandangan itu datang, memindahkannya ke tempat sampah: seketika yang pingsan itu sadar lagi.

Pada titiknya, bau sampah menjadi lebih disukai oleh para elite –seperti sang gelandangan yang pingsan itu.  Ramuan Dul lama-lama tak lagi popular, kalah dengan produk-produk bebauan sampah. Perusahaan Dul bangkrut, Dul pun jatuh miskin kembali.

Jadi? Kentut ya bau. Masak kentut wangi. Melamun ya melamun Dul. Tapi yang wajar dan realistis.   

Lalu dari radio terdengar lagu Jawa karya Titiek Puspa “Ono Maling”, pas bait Ngono yo ngono, ngono ngono ning ojo ngono.

Intinya adalah boleh melamun tapi yang wajar, bekerja yang wajar, mendapatkan sesuatu secara wajar. Bukan mengada-ada dan suka mencari-cari jalan pintas yang mengambil hak orang lain, merugikan sesama. Dul, Dul!
(***)

M. Alfan Alfian, Esais Politik

Oleh Alfan Alfian
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011