Sudah menjadi komitmen, dalam situasi apa pun ketika gunung sedang meriang, seorang petugas pengamatan harus stand-by di posko
Surabaya (ANTARA News) - Dalam rentang enam tahun lebih, Gunung Bromo di Jawa Timur beristirahat total setelah muntahan materialnya yang tak diduga-duga pada satu sore menghujani wisatawan dan memaksa sebagian dari mereka pergi.

Selama enam tahun itu pula status gunung api bertinggi 2.392 meter dari permukaan laut itu naik-turun antar level rendah Aktif Normal (level I) dan Waspada (level II).

Aktivitas gunung api di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur itu kembali menunjukkan tanda-tanda meningkat sejak 23 November 2010. Tingkat aktivitasnya pun hampir mirip dengan enam tahun sebelumnya.

Sifat aktivitas Gunung Bromo yang mendadak meningkat itu bagai buto dalam cerita pewayangan yang bangun dari tidur panjangnya selama bertahun-tahun.

Gunung Bromo meletus tanpa memberi aba-aba terlebih dahulu. Peningkatan aktivitas pada 23 November 2010 malam itu membuat Gunung Bromo menyandang status Siaga (level III).

Belum genap 24 jam, status itu telah berubah menjadi Awas (level IV) pada 24 November 2010 sore setelah gempa tremor terus-menerus yang menyebabkan material dari dalam dapur magma terlontar ke luar perut bumi hingga setinggi lebih dari satu kilometer.

Di balik aktivitas fenomenal itu, terselip sepenggal kisah menarik tentang seorang anak manusia yang tugasnya mengamati gunung api tersebut. Mulyono namanya.

Dialah yang bertanggungjawab atas keselamatan jiwa manusia di sekitar Pegunungan Tengger yang meliputi wilayah Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Malang, dan Kabupaten Jember.

Mulyono memang tidak sendiri di Pos Pengamatan Gunung Api (PPGA) Bromo yang berada di Dusun Cemorolawang, Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo itu.  Masih ada Poniman dan dua orang petugas teknik informatika yang selalu menemaninya beraktivitas di satu bangunan sederhana di atas kaldera Gunung Bromo tersebut.

Tiga hari sebelum Gunung Bromo erupsi, Mulyono pamit pulang kepada rekan-rekan kerjanya. "Sudah hampir enam bulan, saya tidak mengunjungi anak dan istri di kampung," kata lelaki asal Leles, Kabupaten Garut, Jawa Barat.

Kepulangan Mulyono ke Garut pada 20 November 2010 itu bukan sekadar melepas kangen kepada keluarganya. "Anak saya yang nomor dua tunangan. Sebagai orang tua, saya harus tahu seperti apa calon suaminya," tutur pria berusia 53 tahun itu.

Rencananya, tunangan yang akan diikuti seserahan dari mempelai pria kepada anaknya itu digelar pada 22 November 2010.

"Sudah direncanakan jauh-jauh hari acara itu. Tentunya berdasarkan kesepakatan antara anak saya dan calon suaminya," kata suami Yayah Rohayah yang sudah memberinya empat orang anak itu.

Acara menyambut keluarga calon menantu pun dipersiapkan, termasuk menyediakan aneka hidangan, mulai dari ayam goreng hingga ragam ikan tawar, lengkap dengan lalap yang menjadi ciri khas menu makanan masyarakat tanah Pasundan.

Di tengah harap-harap cemas menunggu rombongan "tamu agung" datang di keesokan harinya, telepon selular Mulyono berdering. Suara dari seberang telepon membawa kabar tak mengenakkan.

"Gununge meriang," kata Mulyono menirukan ucapan Poniman dari PPGA Bromo yang jaraknya beratus-ratus kilometer dari Leles, Garut.

Tak ada pilihan lain bagi Mulyono, kecuali cepat-cepat meninggalkan kampung halamannya dan mengubur dalam-dalam impiannya untuk bisa merasakan kegembiraan sekaligus keharuan Dwi Widya Mulyani yang hendak dipersunting pria idamannya, demi memenuhi panggilan tugas.

Ketegaran jiwanya telah menunjukkan dia seorang patriotis sejati. Ia tinggalkan keluarganya yang sedang menanti kebahagiaan itu. Mulyono kembali ke medan tugas dengan hati mantap.

Profesi yang digelutinya selama ini tidak hanya dia maknao dari sudut mudahnya mendapatkan materi sehingga anak-anaknya bisa mengenyam pendidikan, tetapi juga diunjukkan lewat tanggung jawab kepada sesama.

"Sudah menjadi komitmen, dalam situasi apa pun ketika gunung sedang meriang, seorang petugas pengamatan harus stand-by di posko," kata Mulyono.

Dibandingkan rekan-rekannya sesama petugas pengamatan di Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), karier Mulyono sebenarnya tergolong biasa-biasa.

Pria yang bekerja di PVMBG sejak 1990 itu baru menjadi petugas pengamatan gunung berapi pada 2007 dan Gunung Bromo adalah tempat dia memulai tugasnya sebagai pengamat.

Lain halnya dengan beberapa petugas pengamatan Bromo lainnya.  Mereka sudah menjalani "tour of duty" dari gunung ke gunung. Bahkan Poniman pernah bertugas di Gunung Kelud dan Merapi, sebelum kemudian diterjunkan ke Bromo.

Mulyono tak pernah mempersoalkan sisa waktu tiga hingga lima tahun lagi menuju gerbang pensiun. Seperti pepatah militer, "Tiada kata pensiun untuk mengabdi kepada negara." Mulyono pun bergegas menuju medan tugas.

Seakan lupa pada keluarga di rumah, Mulyono dan rekan-rekannya di PPGA Bromo Cemorolawang melaporkan kondisi Gunung Bromo kepada atasannya di PVMBG Bandung setiap saat.

Laporan Mulyono dan kawan-kawan itu menjadi referensi utama bagi pejabat PVMBG untuk menaikkan status Gunung Bromo dari Waspada ke Siaga, lalu menjadi Awas. Sejak itu pemerintah menetapkan kondisi tanggap darurat bagi masyarakat sekitar Gunung Bromo.

Kendati status Awas diturunkan menjadi Siaga sejak 6 Desember 2010, diikuti dengan berakhirnya masa tanggap darurat pada 22 Januari 2011, Mulyono tetap tak bisa meninggalkan tugas, mengingat Gunung Bromo masih terus erupsi sampai detik ini.

Baginya, status Siaga dan habisnya masa tanggap darurat bukan berarti tugasnya harus selesai pula. Keselamatan manusia adalah tujuan utama dari tugas sehari-harinya itu. Dia tak ingin lengah karena ini akan fatal bagi kehidupan di sekitarnya.

Impian Mulyono melihat kebahagiaan keluarganya pun kian terpendam di Bromo. "Urusan rumah jadi tak kepikir lagi," katanya.

Ia juga tidak bisa berharap banyak untuk bisa menyaksikan anak nomor duanya itu duduk di pelaminan nanti. Dia lalu berkata, "Saya pun tidak tahu, kapan bisa pulang lagi."

M038/Z002

Oleh M. Irfan Ilmie
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011