Dalam sebulan terakhir, Pengadilan Negeri (PN) Kota Dumai, Provinsi Riau, disibukkan dengan agenda sidang tindak pidana korupsi pengadaan proyek air bersih atau yang disingkat PAB.

Pada kasus ini, mengangkat mantan Sekretaris Daerah Kota Dumai Mustar Effendi dan Mantan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Siak Fahrizal sebagai terdakwanya. Mereka dituduh menggelapkan uang negara sebesar Rp1 miliar.

Sebelum menjadi terdakwa, kedua orang ternama ini telah melalui proses pemeriksaan pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Dumai hingga pada akhirnya ditetapkan sebagai tersangka tertanggal 25 Januari 2008.

Berulang, pihak Jaksa Penyidik yang kala itu dijabat oleh Agita Tri Moertjah Janto, SH dengan pangkat Jaksa Pratama, NIP 230023103 yang juga menduduki kursi sebagai Kepala Seksi Pidana Khusus (Pidsus) melakukan pemeriksaan mendetail terhadap kedua terdakwa sebelum kemudian kasus ini naik ke persidangan.

Dalam rentan waktu yang terbilang molor, akhirnya pada tahun 2010 tepatnya tanggal 20 Desember, tim jaksa penyidik tindak pidana khusus Kejari Dumai, melimpahkan berkas kasus tersebut ke PN Dumai.

Pelimpahan berkas perkara tersebut sebelumnya telah diawali oleh penahanan tersangka Mustar Effendi. Mustar kala itu, tertanggal 15 Desember 2010, dititipkan di Rumah Tahanan Nasional (Rutan) Kota Dumai dengan status titipan Kejari.

Namun saat penahanan tersangka Mustar dan penyerahan berkas perkara, salah seorang tersangka yang merupakan Mantan Anggota DPRD Kabupaten Siak, Fahrizal, masih belum diketahui keberadaannya alias buron.

Penahanan Mustar dan pelimpahan berkas perkara tersebut kemudian berlanjut pada penetapan tersangka Mustar Effendi sebagai terdakwa di PN Dumai. Kemudian, tertanggal 23 Desember 2010, untuk pertamakalinya Majelis Hakim PN Dumai mengetuk palu dalam sidang perdana tipikor PAB untuk rakyat Kota Dumai dengan terdakwa Mustar Efendi.

Pada sidang perdana hingga sidang keempat yang digelar pada pekan pertama di Januari 2011, Mustar hadir dengan didampingi empat pengacaranya. Sementara untuk Fahrizal yang juga telah ditetapkan sebagai terdakwa pada kasus yang sama, sempat dua kali menjalani sidang in absensia.

Namun sidang inabsensia yang digelar terpisah tersebut tidak berlanjut. Pada tanggal 22 Januari 2011, Kejari Dumai menuai sensasi dengan berhasil menangkap terdakwa buron Fahrizal.

Berdasarkan keterangan Agita selaku Jaksa Penuntut Umum (JPU), Fahrizal berhasil diringkus dikediamannya di Jakarta Timur. Kala itu, Fahrizal langsung dititipkan di Rutan Dumai, untuk kemudian disidangkan pada tanggal 24 Januari 2011.

Pada sidang perdana Fahrizal, Majelis Hakim sempat melanjutkannya secara terpisah. Hingga memasuki tahapan pemanggilan saksi-saksi, kedua terdakwa akhirnya dihadirkan dalam sidang yang sama.

Panjangnya proses peradilan pada kasus ini menimbulkan berbagai tanda tanya besar. Terlebih ketika Kejari hanya mampu mengangkat dua orang tersangka dalam kasus proyek yang sebenarnya dilakukan secara berjema`ah ini.

Menjawab sejumlah kejanggalan itu, ANTARA mencoba melakukan penelusuran atas kasus tersebut.


Kontrak Kerjasama

Munculnya kasus PAB ini berdasarkan berkas perkara ternyata berawal dari kontrak kerjasama bisnis rencana pembangunan dan dan pengelolaan air bersih (PAB) Kota Dumai, Provinsi Riau di tahun 2003. Dimana pemerintah Kota Dumai menitipkan dana penyertaan modal atas rencana pembentukan perusahaan Konsursium yang didalamnya juga terlibat pihak swasta.

Kala itu, tertanggal 5 Januari 2004, berkas perkara menyebutkan, Pemko Dumai terus melanjutkan rencana tersebut hingga membentuk sebuah tim kecil yang bertindak sebagai pengawas dalam proyek yang direncanakan senilai ratusan miliar rupiah itu.

Pada tim kecil ini, Zulkifli AS yang sempat menjabat sebagai Walikota Dumai Periode 2005-2010 bertindak sebagai ketua dengan rangkap jabatan sebagai Asisten Administrasi Keuangan dan Pembangunan di Pemko Dumai.

Zulkifli dalam berkas perkara disebut bertindak sebagai pembuat Nota Dinas berupa pinjaman dana untuk penyertaan modal. Hal ini sempat disinggung dalam berkas perkara karena dianggap telah menyalahi aturan ketetapan yang berlaku dan melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 105 tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.

Terlebih menurut berkas perkara bahwa Nota Dinas tersebut mendapat persetujuan dari Walikota Dumai yang masa itu (2004) dijabat oleh H Wan Syamsir Yus dan Bennedi Boiman selaku Ketua DPRD Dumai yang kemudian meminta agar Mustar Effendi selaku Sekretaris Daerah untuk mencairkan dana sesuai dengan yang disetujui.

Atas perintah itu, tertanggal 10 Januari 2004, Mustar merealisasikan perintah atasannya tersebut. Namun pada pencairan dana senilai Rp1 miliar itu, juga ditemukan kejanggalan yang sangat luar biasa. Dimana dana tersebut dicairkan sebelum APBD tahun 2004 yang rencananya baru disahkan pada Juni 2004.

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 105 tahun 2000 pasal 25 tentang pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, bahwa tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban APBD tidak dapat dilakukan sebelum ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang APBD dan ditempatkan dalam lembaran daerah.


Masalah Rumit

Masih ditahun yang sama, atas semua kerancuan kegiatan fiktif sejumlah kalangan pejabat daerah itu, akhirnya rencana ini menemukan permasalahan mendalam, yakni sengketa keungan. Karena kerjasama ini bersengketa, kedua belah pihak antara swasta dan pemko memutuskan untuk maju kepersidangan di Pengadilan Negeri Dumai.

Pihak Pengadilan Dumai kala itu memenangkan Pemerintah Dumai sebagai hak kuasa rencana PAB. Namun Konsursium yang kala itu diisi oleh sejumlah perusahaan swasta dengan diketuai oleh PT Riau Mineralindo Perkasa (RMP), dimana Fahrizal sebagai Direktur utamanya mengajukan kasasi.

Saat proses kasasi di Mahkamah Agung (MA) sebagai suatu perkara perdata, pihak Kejaksaan Negeri Kota Dumai kemudian mengambil alih perkara dengan menaikkan status perkara menjadi perkara pidana dengan sasaran "tembak" pihak swasta.

Kasus ini kemudian berlanjut. Pada tahun 2005, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Provinsi Riau turun melakukan pemeriksaan atas penyertaan modal atas rencana pengadaan proyek tersebut. Dalam pemeriksaan itu, BPK menemukan adanya kejanggalan pada laporan keuangan di tahun 2004 sebesar Rp1 miliar.

Temuan BPK ini menguatkan pihak kejaksaan untuk mengusut tuntas permasalahan tersebut. Hingga pada akhirnya, Kejari Dumai mengangkat dua tersangka Mustar Effendi dan Fahrizal, serta menyiapkan 22 saksi yang didalamnya tidak termasuk dua mantan Walikota Dumai yakni Wan Syamsir Yus (1999-2005) dan Zulkifli AS (2005-2010). Mereka berdua, yang jika dirunut berdasarkan berkas perkara merupakan saksi kunci pokok permasalahan tersebut karena pada masa itu terlibat atau bertindak sebagai pengusul (Zulkifli AS) dan Pemberi kuasa (Wan Syamsir Yus).

Hingga sekarang kasus ini terus marak ke permukaan dan menimbulkan berbagai opini di kalangan masyarakat Kota Dumai yang memang sangat mendambakan kehadiran air bersih di rumah mereka.

Seperti yang diakatan Yudi. Pria tiga anak yang mengaku sudah lebih 15 tahun tinggal di Kota Dumai ini berpendapat kasus ini merupakan kasus yang membuat banyak masyarakat kecil seperti dirinya kian miris dan merasa dizalimi.

"Apa bedanya kasus ini sama kasus Bank Ceantury, Lumpur Lapindo, terus kasus si Gayus. Semua selalu sama. Yang kaya tetap kaya, yang miskin bertambah miskin. Duit kayaknya bisa saja beli keadilan," kata Yudi yang merupakan pedagang gorengan di jalan Ombak, Dumai.

Sementara Saleh, seorang nelayan di Dumai mengaku saat ini tidak pernah percaya dengan yang namanya keadilan bagi mereka tersangka koruptor.

"Undang-undang dibuat dan diberlakukan untuk rakyat miskin, tapi bagi mereka yang kaya justru bersembunyi dibaliknya," kata pria satu anak ini.

Yudi dan Saleh merupakan dua dari puluhan ribu warga Dumai yang berada dibawah garis kemiskinan. Mereka kecewa dengan kinerja Pemko Dumai. Mereka yang sangat mendambakan dan mengharapkan adanya air bersih di rumah mereka. Dan kini, mereka justru di zalimi dengan penggelapan uang senilai Rp1 miliar. Dana ini tidak lain bersumber dari anggaran yang sebenarnya dimanfaatkan untuk pembangunan proyek air bersih dambaan.

"Perang" pejabat dengan pihak kejaksaan dan pengadilan ini telah mendatangkan luka dan duka mendalam bagi kebanyakan masyarakat Dumai.

Bukan tidak mungkin, hal ini akan mendatangkan trauma dan kekecewaan yang teramat dalam. Krisis kepercayaan di kalangan masyarakat terhadap pejabat di kota berjuluk Mutiara Pantai Sumatera itu bisa saja terjadi, karena mereka juga tidak lah berbeda dengan nelayan atau pun pedagang sepeti Yudi dan Saleh. (ANT/K004)

Oleh Oleh Fazar Muhardi
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011