Palembang (ANTARA News) - Sepeninggal tokoh pers dan tokoh masyarakat Sumatera Selatan, Ismail Djalili, masyarakat dan daerah ini kehilangan salah satu warga terbaik yang pernah dimilikinya.

Ismail Djalili yang lahir di Menggala, Lampung, 26 Mei 1933, dan dikenal pula sebagai pendiri sekolah jurnalistik dan pemerintahan Stisipol Candradimuka, Palembang, meninggal dunia Minggu, sekitar pukul 07.26 WIB di Rumah Sakit Charitas Palembang, akibat menderita komplikasi sakit asma, jantung dan diabetes.

Masyarakat Palembang dan Sumsel benar-benar kehilangan tokoh pers itu.

Ismail Djalili terakhir tampil di publik pada peringatan Hari Pers Nasional di Palembang pada Februari 2010.

Ia juga sempat hadir dalam diskusi sastra yang digelar Dewan Kesenian Sumatera Selatan yang menghadirkan sastrawan asal Lampung, Isbedy Stiawan ZS pada awal tahun 2010.

Kendati harus dipapah dan mengaku dalam kondisi sakit, namun Ismail menyatakan harus hadir dalam acara itu, antara lain untuk menghargai Isbedy sebagai salah satu seniman besar sekaligus bagian dari keluarganya--istri Isbedy adalah saudara kandung Ismail Djalili.

Ismail Djalili merupakan salah satu wartawan senior di Indonesia yang menerima Kartu Pers Nomor Satu, bersama Rosihan Anwar, Jacob Utama, Dahlan Iskan, Karni Ilyas, M Soleh Thamrin, Tarman Azzam, dan Bambang Harimurti.

Bapak dari dua anak ini dikebumikan di Puncak Sekuning, Palembang, Minggu petang, seusai Shalat Ashar dari rumah duka di Jalan Bidar Perumahan Kampus Blok B-12 Palembang.

Selain dikenal sebagai wartawan, Ismail Djalili juga dikenal sebagai seniman, khususnya teater dan sastra.

Puluhan buku sastra ditulisnya, termasuk naskah teater dan film. Tahun 2010, dia menerima penghargaan dari Dewan Kesenian Sumsel sebagai tokoh seni di Sumsel.

Putra dari KH Abdurrahman Djalili yang merupakan tokoh Partai Serikat Islam Indonesia (PSSI), Ismail Djalili melalui masa remaja dan sekolahnya di Palembang tepatnya pada 1950-1954.

Setamat SMP dirinya melanjutkan pendidikan ke Yogyakarta, kemudian melanjutkan ke Perguruan Tinggi Islam Negeri dan terakhir masuk ke Universitas Gadjah Mada (UGM) Jurusan Publisistik.

Keprihatinan hidup yang dilaluinya menempa Ismail menjadi seorang yang agamis serta humanis, sejalan dengan profesi yang digelutinya setelah dewasa.

Selain aktif menulis sebagai wartawan, dia juga menekuni bidang seni dan budaya.

Pada usia 60-an dia mengabdikan diri sebagai pendidik dan tahun 1976 mendirikan Akademi Publisistik yang kemudian berkembang menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Politik (Stisipol) Chandradimuka Palembang.

Banyak hal menarik dalam perjalanan hidup ayah dari dua anak ini, khususnya tentang kegigihan dan ketabahannya dalam mewujudkan cita-citanya. Selain itu, kisah hidupnya berlangsung pada saat bangsa Indonesia berjuang merebuk kemerdekaan sehingga ada penggalan-penggalan kisah yang berkaitan dengan sejarah dalam dirinya.

Sahabat almarhum, Asdit Abdullah, mengungkapkan, almarhum merupakan seorang jurnalis tulen, bahkan pada akhir hayatnya masih berkeinginan menulis sebuah buku yang menceritakan perjuangannya menghadapi penyakit yang dideritanya.

"Pekan lalu saya bertemu Ismail Djalili di RS RK Charitas, beliau meminta pendapat saya tentang keinginannya membuat sebuah buku terkait masa perjuangannya menghadapi asma, jantung dan diabetes yang dideritanya. Sayang keinginan itu menjadi keinginan terakhirnya," kata Asdit yang juga mantan Ketua PWI Sumsel periode 1991-1999.

Menurut Asdit, almarhum merupakan sahabat sekaligus guru terbaik yang dikenalnya.

"Yang patut diteladani adalah konsistensi beliau dalam berkarya di bidang jurnalistik, sungguh tidak tergantikan," kata dia lagi.

Di rumah duka, tangis haru menghantar kepergian tokoh pers ini, antara lain hadir di rumah duka Gubernur Sumsel H Alex Noerdin, Wakil Wali Kota Palembang H Romi Herton, serta sejumlah anggota DPRD Provinsi Sumsel yang turut menghantar kepergian Ismail Djalili.

Sebelum dimakamkan di Puncak Sekuning, almarhum yang hingga kini masih menjabat selaku Ketua Dewan Penasehat PWI Sumsel ini dishalatkan di Masjid Ar-Rahman kompleks Kampus Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Politik (Stisipol) Chandradimuka Palembang.

Selain meninggalkan dua orang putri, Ismail Djalili juga meninggalkan seorang istri bernama Liem Suharlina yang dinikahinya pada 31 Agustus 1964 di Palembang.

Selamat jalan tokoh pers Sumsel, pengabdian dan kegigihanmu akan selalu dikenang. (B014/Z002/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011