Joki dalam pengertian di luar joki pacuan kuda, semula merupakan aktivitas yang “diam-diam” alias “jokondho-kondho”, tetapi, semakin lama semakin terbuka, demonstratif, karena mengemukanya kalkulasi pragmatis –yang mendasar (misalnya alasan si joki m
MEMBACA berita adanya kasus joki tahanan atau joki narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Bojonegoro, Jawa Timur, belum lama ini, sebagian besar di antara kita barangkali langsung mengelus dada : kok sampai ada.

Berita itu menyebutkan bahwa seorang terpidana bernama Kasiyem (50) meminta tetangganya yang bernama Karni untuk menggantikan dirinya di penjara di LP Bojonegoro.

Kasiyem divonis tiga bulan 15 hari. Karni pun akhirnya menyanggupi permintaan Kasiyem setelah dijanjikan akan diberikan uang Rp 10 juta.

Singkat cerita, kasus itu terbeber di media massa dan segera memperoleh komentar dari para elite pejabat terkait.

Dari kasus ini, kita seolah-olah dihadapkan pada pengembangan kalimat baru atas kata “joki”. Tapi apa joki itu?    

Kita konfirmasikan sejenak ke Wikipedia pengertian joki (jockey) berikut ini. A jockey is an athlete who rides horses in horse racing or steeplechase racing, primarily as a profession. The word also applies to camel riders in camel racing.

Jadi, joki, yang aslinya melekat pada para penunggang kuda atau unta tandingan.
Nah ini yang menarik:  The word (jockey) is by origin a diminutive of  “jock”, the Northern Englishor Scots colloquial equivalent of the first name “John”, which is also used generically for “boy, or fellow” (compare “Jack”, “Dick”), at least since 1529. A familiar instance of the use of the word as a name is in “Jockey of Norfolk” in Shakespeare’s Richard III. v. 3, 304.

In the 16th and 17th centuries the word was applied to horse-dealers, postilions, itinerant minstrels and vagabonds, and thus frequently bore the meaning of a cunning trickster, a “sharp”, whence the verb to jockey, “to outwit”, or “to do” a person out of something. The current usage which means a person who rides a horse in races was first seen in 1670.

Entah, bagaimana ceritanya, istilah joki meluas maknanya (secara menyimpang, karena menjadi bermakna negatif), misalnya, menjadi joki 3 in 1 di jalan-jalan utama Jakarta; atau sebelumnya pada zaman saya SMA/kuliah ada istilah joki SIPENMARU (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) atau UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri).

Lantas, perkembangannya mulai merambah ke yang lain-lain: Ada joki SIM, joki TOEFL, joki KTP, joki Pasport –kelihatannya absurd, tapi ada-ada saja!
   
Joki dalam arti denotatif penunggang kuda dalam acara pacuan kuda, malah jarang disebut, kalau bukan nyaris tak terdengar –kalah jauh ketimbang joki dalam maknanya yang bukan penunggang kuda.
    
Mengapa penggunaan kata joki dalam makna konotatif jauh lebih berkembang dari makna aslinya, tidak dapat dilepaskan dari konteks sosio-budaya masyarakat yang semakin pragmatis, semakin transaksional, semakin menggampangkan masalah, semakin memilih alternatif jalan pintas.
   
Misalnya, ada seorang remaja lulusan SMA ingin supaya bisa kuliah di Universitas Negeri. Tapi, remaja itu kurang percaya diri bisa menembus alias lulus ujian penerimaan di Universitas Negeri, dan lantas bingung. Kemudian datang temannya memberitahu alternatif jalan pintas: mencari joki saja.
   
Dalam kasus-kasus lain, “mencari joki saja” itu artinya mencari jalan pintas, alias mencari cepat di tengah kemacetan jalan raya Jakarta yang memberlakukan kebijakan kendaraan 3 in 1.
   
Para joki 3 in 1 pun semakin menyubur, seiring dengan besarnya peluang –di samping besarnya razia penangkapan. Mengapa makin menyubur, tentu ada kaitannya dengan semakin menyedihkannya fakta sosial kemiskinan di sekitar kita.
   
Bagi pemerintah, kebijakan 3 in 1 dimaksudkan untuk mengurangi kepadatan kendaraan di jalan-jalan tertentu, tetapi bagi lapisan miskin kota, ia juga berarti penyediaan lapangan kerja informal dengan menjadi joki.
   
Bagi pemilik kendaraan pribadi, kebijakan 3 in 1 sering dianggap menyebalkan –walaupun adakalanya harus kompromi dengan para joki.

Soal joki-joki konotatif itu, Anda bisa mengembangkan cerita-cerita lain. Bahwa kok sampai ada paspor dengan foto mirip Gayus Tambunan memakai wig dengan identitas Sony Laksono, misalnya, adakah kaitannya ini semua dengan konteks joki konotatif ini?
   
Kita juga sebenarnya telah memahfumi pelembagaan para joki untuk memudahkan urusan. Pelembagaan joki itu, terkait dengan adanya permintaan yang tinggi dari mereka yang ingin urusannya ke kantor-kantor birokrasi publik efektif.
   
Tapi, biasanya para joki bekerja sendiri-sendiri dan membentuk suatu kultur perjokian yang berkembang dalam logika tahu sama tahu. Misalnya, ketika melegalisasi ijazah saya di sebuah Kopertis (untungnya sekarang langsung ke PTS masing-masing), sudah banyak calo yang menawarkan jasa joki legalisir.    
   
Mereka sudah beroperasi bertahun-tahun dan memanfaatkan orang-orang jauh dari kantor itu. Birokrasi di sana tidak efisien, karena mengumumkan bahwa legalisir itu selesainya berhari-hari. Tapi, sang joki menawarkan jalan pintas: hanya beberapa jam saja! Orang dalam ikut mempersubur praktik perjokian sedemikian.
   
Model begini sudah lazim juga di rumah-rumah sakit (pemerintah) yang birokrasinya kerap masih bertele-tele, dan karenanya memberi peluang bagi “orang-orang kreatif” menyelenggarakan jasa perjokian –antara lain dengan modus memanipulasi nomor antrean. Semoga saja sekarang tidak ada lagi yang demikian.
    
Karena kata joki mirip “joko” (perjaka), saya ingat plesetan katanya, bahwa joko itu “jokondho-kondho” alias jangan bilang-bilang. Para pelawak (yang laki-laki) Srimulat, sering bercanda, “Saya itu masih joko lho”, kepada perempuan yang ditaksirnya. Yang perempuan biasanya menyahuti, “Joko apa jokondho-kondho?”
   
Lantas, merebaklah tawa. Karena yang laki-laki memang sudah tidak “joko”, tetapi minta supaya “jokondho-kondho”.
   
Tentu saja saya tidak bermaksud menyinggung atau merendahkan rekan-rekan, sahabat-sahabat, kolega-kolega, Anda sekalian yang bernama Joko –atau mereka yang terhimpun dalam Perhimpunan Joko Nusantara alias kelompok orang-orang bernama Joko se-Indonesia, seperti juga Endang atau Asep.

Tetapi, hanya untuk menyemarakkan saja tulisan ini –saya sangat bangga dengan nama Joko, karena Joko itu juga sebuana bagi yang masih perjaka, bahkan juga seorang ksatria (Joko Sembung, Joko Tingkir, Joko Tarub, dan Joko-Joko lain).
   
Joki dalam pengertian di luar joki pacuan kuda, semula merupakan aktivitas yang “diam-diam” alias “jokondho-kondho”, tetapi, semakin lama semakin terbuka, demonstratif, karena mengemukanya kalkulasi pragmatis –yang mendasar (misalnya alasan si joki memang miskin dan butuh pekerjaan) maupun yang artifisial (memang dasarnya cari keuntungan).
   
Sang joki sendiri juga tentu “malu” dan tidak akan menyebut dirinya berprofesi joki. Sebab joki bukan “blanthik” alias makelar sapi di pasar hewan.
   
Kita memang dituntut untuk merespons dan menangani fenomena joki secara bijak –dan para penegak hukum harus tegas, walaupun harus paham konteks sosiologi hukumnya, dan karenanya dilakukan dalam kerangka, meminjam kampanye Almarhum Satjipto Rahardjo, “penegakan hukum progresif” –dan transparan, bukan diam-diam. Begitukah?

(***)

*M Alfan Alfian, Dosen di Universitas Nasional, Jakarta.

Oleh Alfan Alfian
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011