Kairo  (ANTARA News) - Wakil Presiden Mesir Omar Suleiman pada Selasa kembali menyatakan bahwa tidak mungkin perundingan akan mencapai kata sepakat bila pengunjuk rasa masih bertahan di Bundaran Tahrir, pusat kota Kairo.

Di sisi lain, oposisi  mengatakan unjuk rasa akan terus berlangsung dan tuntutan mereka tidak berubah yaitu mundurnya Presiden Hosni Mubarak.

Omar juga menegaskan bahwa Presiden Mubarak tidak mungkin mengundurkan diri sebelum masa jabatannya berakhir pada September.

Sudah lebih dua pekan massa berkumpul di Lapangan Tahrir dan hampir di semua kota lainnya di Mesir menuntut mundur Mubarak, namun orang kuat itu hingga Rabu (9/2) masih tegar.

Pemimpin yang telah 30 tahun berkuasa tersebut justru semakin memperlihatkan "taringnya" dalam mengatur strategi untuk menjinakkan protes massa.

Mubarak yang kini 82 tahun sibuk mengatur upaya memenuhi tuntutan rakyatnya, melakukan reformasi politik dan ekonomi untuk menjadikan Mesir lebih demokratis, bebas, dan sejahtera.

Mubarak yang pada Selasa (8/2) berikrar tak akan mencalonkan diri lagi dalam pemilihan presiden, menyetujui pembentukan sebuah komite yang mencanangkan amendemen konstitusi.

Ikrar ini diucapkan oleh Wakil Presiden Omar Suleiman dalam pernyataan yang ditayangkan oleh TV negara. Pernyataan itu  menegaskan bahwa presiden telah menandatangani dekrit pembentukan komisi konstitusi yang bertugas membahas amendemen-amendemen konstitusi.

Omar Suleiman menyatakan, dialog nasional itu merupakan hasil pertemuan singkatnya dengan Mubarak, dengan kesimpulan, Mesir kini telah memiliki jadwal untuk melakukan alih-kekuasaan secara damai.

Akhir pekan lalu, Omar Suleiman mengadakan pembicaraan-pembicaraan dengan para perwakilan partai politik, termasuk Ikhwanul Muslimin -- yang selama ini dinyatakan sebagai organisasi terlarang -- dan kalangan pemrotes, bertepatan gelombang unjuk rasa Mesir memasuki hari ke 16.

Pertemuan itu mencapai kata sepakat pembentukan satu komite, yang anggotanya termasuk para ahli hukum dan sejumlah politisi, untuk mempelajari, mengkaji dan mengusulkan amendemen-amendemen konstitusi, di samping amendemen-amendemen legislatif yang diperlukan sebelum pekan pertama Maret depan.

Untuk meluluhkan kemarahan rakyat, pemerintah Mubarak pada awal pekan ini mengumumkan kenaikan gaji sebesar 15 persen kepada pegawai negeri.

Kabinet baru, ketika menggelar sidang pleno pertama pada Senin yang dipimpin PM Ahmaed Shafiq, membahas berbagai strategi antara lain mengkoordinasikan upaya-upaya kementerian dalam memulihkan tatanan kehidupan yang stagnan dalam dua pekan terakhir.

Selain pembentukan komite amandemen konstitusi, Mubarak, juga memerintahkan pembentukan komite untuk menyelidiki kerusuhan-kekerasan antara para pemrotes anti-pemerintah dan kelompok pro-Mubarak pada Rabu pekan lalu, yang menewaskan sedikit-dikitnya 13 orang dan melukai lebih 800 orang lainnya.

Penguasa Mesir itu juga bertemu dengan sejumlah pemimpin legislatif dan eksekutif untuk membahas tindak-lanjut perkembangan krisis dan membahas reformasi-reformasi politik dan ekonomi.

Tidak Cukup
Dalam tindakan ke dalam, Kejaksaan Agung telah memberlakukan larangan bepergian terhadap beberapa mantan menteri dan pejabat termasuk Menteri Dalam Negeri Habib Al Adly dan membekukan rekening mereka di bank-bank.

Mendagri Adly yang membawahkan lembaga Kepolisian dan Dinas Keamanan Negara dianggap bertanggung jawab atas tindakan keras polisi terhadap demonstran pada revolusi Jumat (28/2) yang menewaskan sedikit-dikitnya 297 orang, menurut Human Right Watch. Al-Adly juga dikenai tuduhan antara lain korupsi dan menguasai uang publik.

Langkah lainnya oleh pemerintah adalah membebaskan 34 tawanan politik. Ini merupakan  yang pertama kali sejak pemerintah Presiden Hosni Mubarak menjanjikan pembaruan untuk mengakhiri demonstrasi rakyat.

Namun sebagian penentang Mubarak berpendapat, konsesi-konsesi semacam itu tidak cukup untuk menghentikan revolusi menendang kekuasaan yang telah bercokol selama 30 tahun, dengan segala dampaknya terhadap rakyat.

Bahkan, tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin mengatakan, konsesi-konsesi tersebut terlalu kecil, meskipun diakui bahwa semua itu baru tahap awal.

Pada Ahad (6/2) yang merupakan awal pekan di Mesir, kegiatan bisnis dan perbankan mulai aktif kembali setelah menghentikan kegiatan sejak 29 Januari. Bursa saham akan mulai aktif kembali pada awal pekan depan.

Tetapi, ratusan ribu demonstran masih memadati Bundaran Tahrir dan tetap menuntut Mubarak mundur.

Berbagai pernyataan para pemimpin demonstran, seperti dikutip media setempat menegaskan, Mubarak harus mundur, dan reformasi politik serta ekonomi harus tetap berjalan untuk membangkitkan kembali kejayaan dan kesejahteraan rakyat Mesir.

Meskipun Presiden AS Barack Obama awal pekan ini mengatakan, telah melihat adanya perkembangan di Mesir, yang disampaikan setelah terjadinya pertemuan antara Wapres Omar Suleiman dan tokoh-tokoh oposisi, namun Washington masih juga mengingatkan Mubarak untuk tak mengabaikan tuntutan rakyat, yang menghendakinya mundur.

Washington, melalui jubir Departemen Luar Negeri Philip Crowley, juga mengatakan, cepat perginya Presiden Hosni Mubarak tidak menjamin bahwa pilpres di negara Arab berpenduduk 80 juta jiwa itu berlangsung dengan jujur dan terbuka.

Berdasarkan konstitusi Mesir, pemilihan presiden diadakan dalam tempo 60 hari setelah presiden mundur, mangkat atau berhalangan tetap.

Para pengamat memperkirakan ada dua skenario untuk pengalihan kekuasaan secara damai di tengah pergolakan di Mesir, yakni pertama alasan kesehatan Mubarak dengan berobat ke Jerman, dan kedua Mubarak melaksanakan ibadah umrah di Arab Saudi dan tetap tinggal di sana.

Alhasil, proses politik di Mesir saat ini dalam posisi stagnan karena kedua pihak sama-sama keras kepala mempertahankan sikap.
(M043/H-AK/A038)

Pewarta: Munawar Saman Makyanie
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011