Yogyakarta (ANTARA News) - Prosesi menyebar "udhik-udhik" sebagai tanda dimulainya perayaan Sekaten menjadi simbol upaya dari seorang pemimpin untuk selalu berusaha menyejahterakan rakyat yang dipimpinnya.

"Simbolisasi dari upaya pemimpin untuk selalu berusaha menyejahterakan rakyatnya tersebut tercermin dari prosesi menyebar `udhik-udhik` yang dilakukan oleh rayi dalem," kata Abdi Dalem Punakawan KRT Waseso Winoto di Bangsal Ponconiti Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Yogyakarta, Rabu malam.

Pada prosesi tersebut, rayi dalem yang berkesempatan menyebar "udhik-udhik" mewakili Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X yang berhalangan hadir adalah GBPH Prabukusumo dan GBPH Cakraningrat. "Udhik-udhik" tersebut terdiri dari uang receh dan juga beras kuning.

Ratusan warga yang berkumpul mengitari Bangsal Ponconiti pun langsung memperebutkan "udhik-udhik" yang disebar rayi dalem.

Bahkan ada beberapa warga yang sengaja membuka payung dan membaliknya agar bisa memperoleh "udhik-udhik" dengan lebih mudah daripada harus menangkapnya dengan tangan.

Salah seorang warga dari Sayegan, Sleman, Winardi sengaja datang ke Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat untuk bisa memperoleh "udhik-udhik" tersebut.

"Saya dapat dua keping uang receh. Masing-masing senilai Rp500. Ini akan disimpan sebagai berkah," katanya yang setiap tahun rutin datang ke keraton tiap kali ada prosesi menyebar "udhik-udhik".

Ia mengatakan, tidak selalu memperoleh "udhik-udhik" tersebut setiap kali datang ke prosesi tersebut. "Saya sudah dapat lima keping uang receh dari prosesi menyebar `udhik-udhik` ini. Dulu yang disebar uang receh Rp100," lanjutnya.

Sesaat sebelum prosesi menyebar "udhik-udhik" itu dilakukan, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat melakukan serah terima dua perangkat gamelan yang akan ditabuh di Pagongan Masjid Gedhe Kauman selama tujuh hari berturut-turut kepada Pemerintah Kota Yogyakarta.

Pemerintah Kota Yogyakarta diwakili oleh R Wedono Suryodiprojo dan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat diwakili oleh KMT Widyowinoto.

Gamelan yang akan ditabuh di Pagongan Masjid Gedhe Kauman tersebut bernama Kyai Guntur Madu dan Kyai Nogowilogo. Masing-masing perangkat gamelan tersebut akan ditabuh oleh 21 orang dengan irama tertentu.

KRT Wasesa Winoto mengatakan, harmoni irama dari gamelan tersebut dapat dimaknai sebagai ajakan untuk tetap mempertahankan persatuan dan kesatuan di masyarakat. "Walaupun di dalam perangkat gamelan itu terdiri dari beragam jenis alat, namun bisa menghasilkan irama yang harmonis, itulah persatuan," katanya.

Gamelan di Bangsal Ponconiti tersebut akan ditabuh hingga menjelang pukul 23.00 WIB untuk kemudian dibawa ke Pagongan Masjid Gedhe Kauman, dalam prosesi yang disebut Miyos Gongso.

Selama tujuh hari berturut-turut hingga Selasa (15/2) malam, gamelan tersebut akan ditabuh dalam waktu-waktu yang telah ditentukan dan diperdengarkan hingga ke Malioboro untuk semakin mengukuhkan bahwa Sekaten adalah sebuah peristiwa budaya.

Pada Selasa malam (15/2) kemudian akan dilakukan prosesi Kondur Gongso, atau kembalinya gamelan ke Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan keesokan harinya yaitu pada Rabu (16/2) akan dilakukan prosesi Gerebeg Maulud yang ditandai keluarnya gunungan yang diarak hingga ke Masjid Gedhe Kauman, Puro Pakualaman dan Kepatihan.(*)

(E013/H008)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011