Jakarta (ANTARA News) - Siang itu panas, seperti siang-siang sebelumnya. Matahari menggelayut angkuh di atas langit pinggiran ibukota.

Adalah Nova, bocah kurus perempuan, duduk di kelas empat sekolah dasar dengan baju seragam merah putih. Ralat, baju seragam putih-kekuning-kuningan, putih yang sudah sangat pudar. Keterbatasan ekonomi keluarganya membuat Nova tidak memiliki banyak baju seragam baru, dia harus puas dengan baju seragam lama yang tersisa.

Nova berjongkok di lantai kereta, bukan hanya karena tempat duduk yang tersisa di dalam gerbong sudah terisi, melainkan karena ia tahu diri.

Gadis berkulit cokelat itu seorang pelajar tanpa karcis yang menggantungkan cita-citanya di atas laju kereta.

Dia tidak sendiri, di sebelahnya duduk adik laki-lakinya, sedikit lebih pendek darinya namun sama gelap kulitnya dan sama lusuh baju seragamnya.

Sang adik lelaki bernama Abil, duduk di kelas dua sekolah dasar dengan tas besar berwarna merah yang berukuran lebih gemuk dari tubuhnya.

Dua adik beradik itu mengawali aktivitas rutin dari Stasiun Cakung Jakarta Timur, berlarian mengejar kereta kelas AC Ekonomi jurusan Bekasi-Jakarta Kota yang memiliki tarif Rp4.500.

Untung saja para petugas penjaga kereta berbaik hati, mereka bisa naik tanpa karcis, siapa tega melihat dua bocah kecil yang memiliki sorot mata lantang ingin bersekolah?

Begitu menaiki kereta mereka sigap memilih gerbong terdepan, dan berjongkok di sela-sela ruang yang tersisa jika situasi sedang penuh.

Namun jika tengah sepi, maka mereka beruntung bisa duduk di kursi di samping ibu-ibu baik hati.

Setelahnya mereka akan terdiam manis, menunggu kereta tumpangan tiba di Stasiun Kramat Sentiong, Jakarta, dengan pandangan mata yang sekan melolong, begitu haus akan pendidikan dan percaya cita-cita bukan sekedar harapan kosong.

Terkadang, pandangan simpati mengalir dari penumpang kereta, melihat dua sosok rapuh yang berdesakan tanpa didampingi orang tua menuju sekolah tempat meraih cita.

Sungguh situasi yang kontras dengan pemandangan di sekolah-sekolah elit, para pelajar necis yang turun dari mobil-mobil mengkilat dengan seragam merah pekat dan putih yang terawat.

Nova dan Abil tinggal bersama ayah yang keberja sebagai pegawai bengkel dan ibu rumah tangga di wilayah Cakung Jakarta Timur yang berbatasan langsung dengan Kota Bekasi Jawa Barat.

Dari rumahnya di pinggiran ibukota mereka harus menempuh jarak berpuluh kilometer untuk menembus gerbang sekolah di SD 16 Petang Johar Baru Jakarta Timur, sungguh jarak yang jauh, bahkan terlalu jauh untuk ukuran pelajar SD.

"Bapak yang selalu pulang malam, dan ibu yang harus merawat adik yang masih kecil membuat keduanya sangat jarang sekali bisa di antar ke sekolah," kata Abil.

Abil dan Nova bertutur, mereka dulu tinggal di rumah yang berjarak sangat dekat dengan sekolah, namun hampir setahun belakangan mereka pindah ke wilayah Cakung yang sangat jauh dari sekolah.

Karena berbagai alasan, mereka tetap melanjutkan sekolah dasar di sekolah lama, meski untuk itu mereka harus berjuang sepuluh kali lebih berat agar bisa sampai di sekolah dengan selamat.

Namun situasi itu tidak lantas membuat semangat mereka surut, mereka terus saja rajin berangkat cepat-cepat, melawan sang surya yang panas membara tanpa rasa kecut.

Jadwal sekolah mereka yang dimulai di siang hari membuat mereka memiliki waktu untuk berjalan kaki dari depan pintu rumah menuju stasiun dan menunggu kereta lewat yang bersahabat sehingga tiba di sekolah tanpa telat.

Dan siang itu, menjadi saksi betapa Nova dan Abil kecil berjuang keras agar cita-cita mereka tidak terhempas. Cita yang mereka gantungkan di atas kereta.

Bahkan, Abil kecil bercita-cita menjadi seorang polisi. Cita-cita yang dimulainya dari sudut kereta yang melaju cepat seiring dengan niat mereka yang hebat.

Dan ini hanya sepenggal kisah kecil mengenai sosok sepasang saudara yang berjuang meraih pendidikan meski memiliki keterbatasan ekonomi namun semangat meraih cita tidak pernah mati.

Mereka hanya contoh kecil dari ribuan kisah anak Indonesia lainnya yang gigih menempuh pendidikan agar cita-cita dapat teraih.

Kisah ini tentu sejalan dengan program pemerintah untuk memfokuskan program penuntasan pendidikan dasar sembilan tahun pada 2011 sebagaimana amanat UUD 1945 dan salah satu tujuan pembangunan millenium (MDGs).

Menteri Pendidikan Nasional, M Nuh mengatakan ada lima fokus program Kemendiknas pada 2011, salah satunya yang masih menjadi fokus adalah penuntasan pendidikan dasar sembilan tahun.

Untuk menyukseskan program itu pemerintah telah mengalokasikan anggaran untuk pendidikan dengan total anggaran Kemendiknas pada 2011 mencapai Rp55 triliun dengan rincian belanja pegawai mencapai 13,1 persen, belanja barang 33,9 persen, belanja modal 14,4 persen dan bantuan sosial sebesar 38,7 persen.

Semoga dari anggaran yang cukup besar itu bisa terserap dengan optimal melalui program-program pendidikan yang baik yang bisa mengakomodir hak seluruh anak Indonesia dalam memperoleh pendidikan.
(W004/A025)

Oleh Wuryanti Puspitasari
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011