Jakarta (ANTARA) - Pakar Lingkungan Universitas Indonesia, Ferrol Warouw mengatakan, sejumlah indikator utama menunjukkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta gagal mengatasi problem lingkungan.

"Akibatnya kualitas keyamanan, ketentraman dan keamanan hidup warga semakin menurun, terutama lima tahun terakhir," katanya kepada ANTARA di Jakarta, Senin, terkait sejumlah problem serius terutama kemacetan dan banjir.

Lima indikator utama yang disebutnya semakin memburuk kualitas penangannya, ialah, pertama, penataan serta pelayanan lingkungan jalan raya.

"Jalan raya semakin mengerikan bagi kehidupan manusia," ungkapnya.

Malah lebih ironis lagi, menurutnya, penggguna jalan sering terpaksa mengatasi sendiri ramifikasi problem di sana.

"Sebab, di saat-saat genting, terjadi semacam pembiaran, dan orang-orang mencari jalan `selamat` masing-masing, yang tak jarang berpotensi memicu konflik terhadap sesama," ujar Ferrol Warouw yang tengah menuntaskan studi doktornya di Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia (UI).

Mantan aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) ini lalu mengemukakan kapitalisasi dan liberalisasi pemanfaatan kawasan Pantai Utara, sebagai indikator kedua yang menunjukkan kian gagalnya Pemprov DKI Jakarta mengatasi problem lingkungan.

"Atas nama kapitalisme dan kuasa para pemilik uang, Pemprov semakin tak berdaya menata kepentingan publik," ujarnya.

Ia melihat, segala sesuatu terkesan ditata menurut selera si kapitalis, sehingga Amdal-nya pun bisa saja sesuai kepentingannya, bukan bagaimana mengantisipasi dahsyatnya serbuan `rob`, interusi, menghilangnya air tanah, amblasnya tanah, hingga kemungkinan tsunami.

Selain itu, menurutnya, akibat pola pembangunan ala kapitalistik, rakyat tak bisa lagi menikmati secara gratis keindahan alam pantai, tertutup oleh area kondominium, pusat-pusat bisnis dan aktivitas yang kurang pas dalam upaya mengawal kelestarian lingkungan pesisir.

Ketiga, menurutn Ferrol Warouw, menyangkut pengelolaan polusi udara, suara dan aroma.

"Mungkin demi PAD atau segala macam penerimaan daerah, biar saja tiap hari ribuan kendaraan bertambah di Jakarta, dengan konsekusnsi bising, macet dan penghamburan energi. Sekali lagi di sini Pemprov DKI Jakarta takluk pada kepentingan pebisnis yang maunya produk kendaraanya laris manis," ujarnya.

Ini, menurutnya, hanyalah salah satu contoh penyebab meningkat drastisnya polusi udara dan suara.

"Sedangkan untuk polusi aroma, muncul akibat amburadulnya penataan dan pengelolaan material eks hotel, restoran dan sampah publik lainnya," ujarnya.

Sementara mengenai indikator keempat yang menunjukkan memburuknya penanganan lingkungan di DKI Jakarta, menurutnya, ialah bersangkut paut dengan problematik banjir.

"Yang terjadi malahan para elite memanfaatkan kejadian ini hanya untuk pencitraan dan hal-hal lain sporadis untuk kepentingan sesaat. Tak ada solusi terobosan," tandasnya.

Sedangkan indikator kelima yang membuat kesan Pemprov DKI Jakarta telah gagal mengatasi masalah lingkungan, yakni lebih tunduk pada skenario pembangunan bernuansa mal dan pasar modern, lalu semakin meminggirkan usaha-usaha ekonomi rakyat, terutama di lingkup pasar tradisional.

"Pembangunan kota modern di Indonesia semakin tak berpihak kepada warga mayoritas, tetapi kepada kelompok kapitalis yang dikelilingi para mafia pajak, mafia kasus, hingga pasukan `bodyguard` menakutkan," ujar Ferrol Warouw. (M036/A025/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011