London (ANTARA News) - Pekerja Rumah Tangga (PRT) Indonesia, mayoritas perempuan dan anak perempuan, rentan terhadap eksploitasi dan perlakuan buruk kecuali parlemen mengesahkan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.

Hal itu diungkap Amnesty International memperingati Hari Pekerja Rumah Tangga Nasional di Indonesia pada tanggal 15 Februari, dalam keterangan persnya yang diterima koresponden Antara London, Selasa.

Direktur Asia Pasifik Amnesty International, Sam Zarifi, menyebutkan bahwa saat Indonesia memperingati Hari Pekerja Rumah Tangga Nasional pada 15 Februari, sekitar 2,6 juta PRT tetap berada di luar perlindungan hukum.

"Sampai saat ini, PRT tidak mendapatkan keuntungan dari perlindungan hukum dibandingkan dengan pekerja lainnya berdasarkan hukum Indonesia," ujar Sam Zarifi.

Undang-Undang Ketenagakerjaan tahun 2003, yang melindungi hak-hak pekerja, mendiskriminasikan PRT.

Undang-undang tersebut tidak menyediakan perlindungan yang sama selayaknya pekerja lainnya, seperti pembatasan waktu kerja dan ketentuan atas istirahat dan liburan, ujarnya.

Kegagalan mewujudkan Undang-Undang perlindungan PRT, lebih dari setahun setelah dijadikan prioritas oleh parlemen, meninggalkan para PRT rentan terhadap eksploitasi dan perlakuan buruk.

Akibatnya adalah perempuan dan anak perempuan yang menjadi PRT hidup dan bekerja dalam kondisi buruk yang jauh dari pemantauan publik. Mereka mengalami eksploitasi ekonomi, dan kekerasan fisik, psikologis dan seksual secara reguler.

Dikatakannya penundaan dalam memperluas perlindungan hukum ke PRT terlihat berbeda dengan langkah yang diambil pemerintah Indonesia dalam memperbaiki perlindungan hukum buruh migrannya, termasuk PRT di luar negeri.

Sementara kami mendukung langkah-langkah itu, tetap tidak boleh ada standar ganda dalam perlindungan Hak Asasi Manusia, ujar Sam Zarifi.

Kurangnya perlindungan yang layak juga berdampak pada hak kesehatan seksual dan reproduktif yang bisa dinikmati PRT.

Dalam laporan Tak Ada Pilihan: Rintangan Atas Kesehatan Reproduktif di Indonesia yang dipublikasikan Amnesty International menemukan PRT berisiko kehilangan pekerjaan bila mengalami kehamilan, tanpa bentuk kompensasi apapun.

Menurut Sam Zarifi, menjamin perlindungan hukum bagi PRT perempuan akan mendukung upaya pemerintah dalam memperkuat kesetaraan gender dan kesehatan ibu, sebagai bagian dari komitmennya atas Sasaran Pembangunan Milenium PBB (UN Millenium Development Goals).

Amnesty International menyuarakan dukungannya terhadap Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala-PRT), sebuah koalisi nasional yang telah mengkampanyekan hak-hak PRT di Indonesia.

Jala-PRT bersama dengan sejumlah organisasi dan serikat buruh akan mengadakan serangkaian kegiatan diseluruh nusantara dalam memperingati Hari Pekerja Rumah Tangga Nasional.

Penyusunan dan pengesahan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010 setelah bertahun-tahun kampanye yang dilakukan oleh organisasi nasional dan internasional.

Rancangan Undang-Undang yang diperoleh Amnesty International pada April 2010 dinilai tidak memenuhi standar dan hukum Hak Asasi Manusia internasional, terutama terkait dengan perlindungan pekerja perempuan sebelum dan sesudah masa kehamilan.

Rancangan tersebut tidak berisikan ketentuan mengenai kebutuhan khusus perempuan, walaupun mayoritas pekerja rumah tangga di Indonesia adalah perempuan dan anak perempuan.

Pada Juni 2010, Komisi IX yang membidani isu Ketenagakerjaan dan Transmigrasi, Kependudukan serta Kesehatan DPR RI, yang bertanggungjawab penyusunan undang-undang mengumumkan penundaan pembahasan, akibat dari perbedaan pendapat yang belum terselesaikan diantara partai politik.

Sekretaris Umum Amnesty International, Salil Shetty, mengunjungi Indonesia, November lalu mengungkapkan perhatiannya atas perlunya perlindungan pekerja rumah tangga dalam pertemuan dengan para menteri pemerintah RI dan sejumlah pemangku kepentingan lainnya.

Undang-Undang tersebut telah diprioritaskan lagi pada Program Legislasi Nasional 2011 namun sejauh ini masih belum ada perkembangan, demikian Salil Shetty. (ZG/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011