Persoalannya sebenarnya terletak pada warisan nilai-nilai kekerasan melalui cerita-cerita heroik dari orang tua mereka. Ini diceritakan dari generasi ke generasi. Bagaimana mereka bertempur dan berkonflik.
Palu (ANTARA News) - Desa Karawana, Soulove, dan Potoya di Kecamatan Dolo, menjadi catatan kelam bagi masyarakat Sulawesi Tengah, akibat aksi tawuran antarkampung yang telah berlangsung bertahun-tahun dan kian kronis.

Tiga desa itu dalam sebulan terakhir lagi-lagi terlibat perang hebat. Perang hebat, karena bentrok antarkampung itu tidak saja menggunakan parang atau golok, tapi senjata rakitan yang disebut dum-dum.

Dum-dum adalah jenis meriam rakitan terbuat dari pipa besi berisikan mesiu dari bubuk korek api dengan peluru yang terbuat dari pecahan paku dan kaca. Dum-dum dapat melontarkan peluru dengan jarak sekitar 100 meter.

Sosiolog Universitas Tadulako Palu, Sulteng, Tahmidi Lasahido berpendapat konflik-konflik antarkampung yang terjadi belakangan ini khususnya di Kecamatan Dolo, merupakan konflik mengakar yang selalu terulang dari waktu ke waktu.

Konflik tersebut terjadi akibat berbagai faktor seperti kemiskinan, identitas komunal, konflik ruang, dan mulai pudarnya nilai-nilai kultural di tengah masyarakat setempat.

"Persoalannya sebenarnya terletak pada warisan nilai-nilai kekerasan melalui cerita-cerita heroik dari orang tua mereka. Ini diceritakan dari generasi ke generasi. Bagaimana mereka bertempur dan berkonflik. Ini juga yang menjadi semacam `mesiu` lahirnya energi konflik," kata Tahmidi di Palu, Sabtu.

Dalam sebulan terakhir, bentrok antarkampung bertetangga di Kecamatan Dolo khususnya Desa Soulove, Karawana dan Potoya kerap terjadi. Bentrok terakhir terjadi pada 3 Februari 2011 yang mengakibatkan tujuh korban luka akibat kena benda tumpul, senjata tajam dan senjata rakitan.

Perang antardesa tersebut juga berdampak traumatik terhadap ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak di desa tersebut.

Mereka yang terlibat dalam konflik tersebut masih memiliki hubungan kekerabatan yang tinggi bahkan pertalian darah. Menurut Tahmidi, konflik tersebut juga dipicu oleh identitas desa yang menonjol bahkan mengikutsertakan harga diri.

"Ini jadi persoalan sendiri dalam konflik ini," kata peneliti dan fasilitator pada Pusat Penelitian, Perdamaian, dan Pengelolaan Konflik (P4K), Untad Palu itu.

Di sisi lain, kata Tahmidi, konflik juga terjadi karena adanya konflik ruang "spesial" seperti batas antaradesa dan identitas komunal.

Menurut Tahmidi, yang tidak kalah dahsatnya menjadi pemicu konflik adalah faktor kemiskinan di mana umumnya masyarakat yang terlibat dalam konflik tersebut bekerja sebagai petani yang tidak punya akses pekerjaan lain.

"Sehingga jika terjadi tekanan kehidupan ekonomi yang kuat, mereka melampiaskan dalam bentuk kemarahan," katanya.

Konflik yang melibatkan banyak orang hanya berawal dari perkelahian antarapemuda atau anak-anak. Lalu orang tua kadang memberikan dorongan sehingga konflik meluas dengan melibatkan banyak pihak.

Padahal, kata Tahmidi, kekerabatan di antara warga tersebut merupakan potensi yang bisa mengikat hubungan kultural di antara mereka.

Putera mantan Gubernur Sulteng, Galib Lasahido itu menilai, masyarakat setempat sudah hampir melupakan identitas kultural atau nilai-nilai kearifan lokal. Lembaga adat kata dia tidak lagi berfungsi mengurusi masyarakat tetapi lebih pada mengurus dukungan politik.

"Memang ada yang dilakukan, tetapi lebih banyak pada soal dukungan politik, padahal lembaga adat harus bisa membentengi nilai-nilai luhurnya," kata Tahmidi.

Sebagai akibat dari hilangnya nilai-nilai luhur tersebut,ketika terjadi konflik tidak ada lagi yang mau bermusyawarah. Semuanya harus tergantung pada aparat keamanan.

Dulu, kata Tahmidi, ketika ada masalah di desa selalu diselesaikan dengan cara kekeluargaan.

Tahmidi mengatakan, mestinya nilai-nilai lama harus dikembalikan dan organisasi-organisasi yang ada dalam masyarakat diperkuat untuk mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan konflik.

Tugas pemerintah ke depan kata Tahmidi adalah bagaimana membuka lapangan kerja, merevitalisasi lembaga-lembaga sosial maupun lembaga adat, dan memberikan pencerahan terhadap nilai-nilai perbedaan di tengah masyarakat.

"Di zaman demokrasi, penghargaan terhadap perbedaan menjadi penting, kalau kita tidak bisa menghargai tingkat perbedaan itu akan menjadi masalah besar," katanya.

Sementara itu mantan ketua DPRD Donggala, Ridwan Yalidjama mengakui bahwa Kecamatan Dolo yang merupakan daerah kelahirannya tersebut memiliki rekam jejak konflik antardesa yang panjang.

Konflik di wilayahnya, tidak saja terjadi belakangan ini tetapi sudah berlangsung belasan tahun.

Dia menceritakan, saat dirinya masih menjabat Ketua DPRD Donggala, dirinya selalu turun tangan dalam mendaimaikan warga yang bertikai.

"Untungnya itu di kampung saya sendiri sehingga secara sosiologis saya lebih dekat dengan mereka," kata Ridwan.

Dia mengakui bahwa kurangnya lapangan pekerjaan menjadi pemantik munculnya konflik di Dolo. Banyak tanah-tanah terlantar yang tidak tergarap.

Ridwan mengatakan, beberapa tahun lalu dirinya sudah mendatangkan investor untuk berinvestasi di atas tanah yang tidak digarap warga. Investor tersebut juga sudah survei lokasi.

Hanya saja kata Ridwan, niat investor menjadi kendur setelah mendengar bahwa wilayah Dolo adalah wilayah yang rentan terhadap perkelahian antarkampung.

"Sampai sekarang investor itu tidak ada kabar lagi," katanya.

Salah satu solusi dalam menuntaskan konflik-konflik di Sigi khususnya Dolo adalah pemerintah harus membuka lapangan pekerjaan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam yang tersedia di daerah itu.

Menurut Ridwan, penyelesaian konflik dengan melibatkan aparat kepolisian hanyalah penyelesaian sementara. Jika akar persoalannya tidak diselesaikan, benih-benih konflik di daerah itu tetap saja mengakar.

Ridwan juga mengakui bahwa konflik kerap terjadi hanya dipicu masalah sepele. Perkelahian antarpemuda lalu merangsek hingga melibatkan banyak orang. Senjata yang digunakan dalam pertempuran antarwarga juga sudah canggih.

Pada 4 Februari 2011, misalnya, polisi menyita puluhan senjata tajam dan senjata rakitan berbagai jenis di lokasi bentrok di antara Desa Soulove dan Karawana. Penyitaan itu dilakukan setelah polisi menyisir rumah-rumah penduduk dan semak-semak di desa itu. Senjata rakitan yang berhasil disita antara lain adalah dum-dum.
(A055/T010)

Oleh Adha Nadjemuddin
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011