Jakarta (ANTARA News) - Indonesia yang kuat ekonominya akan berarti juga ASEAN yang kuat, bukan hanya akan menjadi mitra dagang yang saling menguntungkan dan saling menunjang bagi Jepang, tetapi juga menjadi faktor pengimbang dalam konstelasi kekuatan di kawasan Asia, kata Prof. Ginandjar Kartasasmita saat memberi kuliah umum "Institute for Developing Economies" (IDE), di gedung kantor pusat JETRO di Tokyo.

Indonesia adalah negara terbesar di ASEAN dan mewakili ASEAN di G-20, dan Jepang diharapkan dapat membantu penguatan ekonomi Indonesia melalui peningkatan perdagangan non-migas, investasi dan dukungan modal dan teknologi, kata Prof. Ginandjar dalam siaran persnya yang diterima ANTARA di Jakarta, Selasa.

Bekerja sama dengan "Japan-Indonesia Friendship Association" (Japinda), IDE mengundang Prof. Ginandjar untuk memberi kuliah umum mengenai hubungan Indonesia-Jepang dalam konteks bilateral, regional dan multilateral. Acara tersebut dipandu oleh Prof. Takeshi Shiraisi dari "Graduate Institute of Policy Studies" (GRIPS).

Baik IDE maupun GRIPS adalah lembaga "think tank" pemerintah Jepang. GRIPS juga menyelenggarakan pendidikan pasca sarjana bagi pejabat-pejabat muda dari berbagai negara di dunia, sama seperti Kennedy School of Government dari Harvard University.

Lebih jauh Ginandjar membahas hubungan tersebut dari perspektif ekonomi, politik dan budaya, dan ia menunjukkan pentingnya Indonesia bagi Jepang, dan pentingnya Jepang bagi Indonesia.

Dalam konteks regional, katanya, ASEAN merupakan mitra yang penting bagi Jepang. Dalam jangka panjang, kerja sama ASEAN-Jepang dapat menjadi jangkar yang kokoh bagi kestabilan dan perdamaian di kawasan ini.

Secara khusus Jepang diharapkan dapat membantu percepatan pembangunan infrastruktur yang sekarang merupakan "bottleneck" bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lebih cepat.

Ginandjar juga menekankan pentingnya Jepang membuka pintu lebih luas bagi mahasiswa-mahasiswa Indonesia untuk belajar di Jepang, dan bagi pekerja-pekerja Indonesia di perusahaan Jepang, termasuk juru rawat.

Ia mengharapkan "big bang" pemberian beasiswa, bukan hanya belasan atau puluhan tapi ratusan bahkan ribuan, dan bukan hanya untuk mahasiswa tingkat S2 dan S3, tetapi juga tingkat sarjana.

"Sekarang sebagian besar mahasiswa asing yang belajar di Jepang berasal dari China dan Korea," katanya.

Acara yang diselenggarakan di gedung kantor pusat JETRO di Tokyo tersebut dihadiri lebih 300 orang dari berbagai kalangan antara lain politisi dan pejabat pemerintah, dunia usaha dan akademik serta para pengamat.

Ginandjar berada di Jepang sebagai guru besar tamu di Graduate School for Asia Pacific Studies, Waseda University, satu perguruan tinggi paling terkemuka di Jepang. Tahun ini adalah tahun ke-10 Ginandjar mengajar di lembaga pendidikan dan riset yang sangat prestisius itu dan dikenal luas di dunia.

Selama keberadaannya di Jepang, pemimpin politik dan pemerintahan Jepang dari berbagai partai bertemu dengan Ginandjar, seperti mantan Perdana Menteri Yasuo Fukuda, dari Liberal Democratic Party, sekarang partai oposisi, dan Menteri Luar Negeri Seiji Maehara dari Democratic Party of Japan, partai yang sekarang berkuasa.

Selain dengan politisi-politisi senior, Ginandjar juga bertemu dengan politisi-politisi muda yang akan menjadi pemimpin-pemimpin masa depan Jepang. Selain itu juga tokoh-tokoh dunia usaha dan berbagai kalangan akademik banyak yang meminta waktu bertemu dan memanfaatkan keberadaan Ginandjar di Jepang, di sela-sela kesibukannya memberi kuliah. (*)

(Tz.M016/J006)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011