Bagi Gaddafi pilihannya adalah membunuh atau dibunuh"
Jakarta (ANTARA News) - Bahkan Adolf Hitler tak pernah menyuruh membom rakyatnya sendiri, sebaliknya Moammar Gaddafi memerintahkan Angkatan Udara Libya membom rakyatnya yang berdemonstrasi menentangnya dan menyeru pendukungnya untuk membantai mereka

Dia juga menyewa tentara bayaran karena sebagian besar tentara tak sudi membunuh rakyatnya sendiri.

Dia mengeluarkan ilusi bahwa demonstrasi telah digerakkan organisasi teror Alqaeda. Dia pikir alasan ini akan membuat Barat memahami kebrutalannya.

Sementara jalur pipa minyak ke Laut Tengah diputusnya dengan harapan Eropa yang adalah pembeli utama minyak Libya, turut merana.

Dia ingin mengganggu pasokan minyak dunia agar dunia guncang, lalu berharap dunia menyalahkan demonstran sebagai biang kerok keguncangan itu.

Manuvernya bagai banteng ketaton. Tabrak sini, tabrak sana, disertai ancaman-ancaman seram yang membuat banyak orang bergidik.

"Gaddafi lebih buruk dari Hitler," kata Iyad Elbaghdadi dalam pesan Twitternya, lalu dikutip UNDP Watch.

Gaddafi mengira dirinya Zaim --raja segala raja Afrika-- seperti kerap disampaikannya di waktu lalu. Lantas dia berilusi, "Bagaimana bisa keagungan seperti ini dilengserkan?"

Kenyataannya, tulis wartawan Aljazeera Marwan Bishara, Gaddafi menghamburkan ratusan miliar dolar AS pendapatan minyak Libya. Sebuah negara kaya minyak telah diubahnya menjadi sebuah negara miskin.

Kini, rakyatnya tak lagi tahan, apalagi ada inspirasi dari sukses revolusi di Tunisia dan Mesir.

Masalahnya, Gaddafi bukan Ben Ali, bukan pula Hosni Mubarak.

"Baik Ben Ali maupun Mubarak adalah otoriter yang pragmatis. Sebaliknya, Gaddafi adalah megalomania yang emosinya tak stabil," kata Michael Totten, wartawan dan analis kebijakan luar negeri dari New Republic.

Artinya, Mubarak dan Ben Ali jauh lebih waras dibandingkan Gaddafi.

Totten mengisahkan pengalamanya saat mengunjungi Libya pada 2004 segera setelah normalisasi hubungan AS dan Libya. "Yang membuat saya kaget adalah begitu banyak teror yang telah dia tanamkan ke hati dan pikiran rakyatnya," kata Totten.

Untuk sekadar bisik-bisik membicarakan Gaddafi saja, rakyat Libya tak berani, kecuali tak ada sesiapa di samping mereka.

"Kami benci si jahanam durjana itu," bisik seorang pelayan toko kepada Totten. Dia menyambung, "Jika saya ketahuan berbicara, tentara akan menjemput saya malam-malam di rumah, lalu dijebloskan ke penjara."

Situasi ini tak terjadi di Tunisia dan Mesir, kata Totten. Rakyat dua negeri ini bebas membicarakan Ben Ali dan Mubarak tanpa takut didengar orang-orang di sampingnya.

Membunuh atau dibunuh

Libya agak mirip dengan rezim stalinis Soviet di zaman Joseph Stalin. Mata-mata di mana-mana, sementara eksekutor menanti menjagal siapapun yang mengkritik rezim.

Diantara eksekutor paling kejam adalah Abdullah Sanussi yang disebut telah menyarankan Gaddafi untuk menghadapi demonstran dengan kebrutalan.

Sanussi mengawini saudara perempuan istri Gaddafi. "Mereka sama-sama suka menggunakan kekerasan untuk menghancurkan perlawanan," kata Noman Benotman, mantan aktivis jihad Libya.

Sanussilah yang membantai Benghazi beberapa hari lalu, bersama dua anak Gaddafi; Khamis sang komandan pasukan khusus Libya dan Saadi.

Dia juga dianggap otak pembantaian 1.000 aktivis Islam di penjara Abu Salim tahun 1996, dan tokoh-tokoh oposisi pada 1980an.

Dia bahkan diduga pernah bermufakat jahat guna membunuh Putra Mahkota Abdullah dari Arab Saudi akhir 2003, dan mengorkestrai pemboman maskapai UTA dari Prancis pada 1989 yang menewaskan 170 penumpang.

Gaddafi sendiri tak kalah brutal, apalagi ketika kekuasaannya terancam.

Pada 1980an dia pernah membinasakan kelompok oposisi yang disebutnya "anjing-anjing udik". Juga, aktivis Islam pada 1990an, termasuk 1.000 aktivis yang dibantai pada 1996.

Bahkan para sejawatnya dalam korps "Perwira Bebas" yang melancarkan Kudeta 1969 satu per satu dilenyapkan. Beberapa diantaranya mati misterius seperti Omar Limheshi dan Imhammad al-Muqrif, beberapa mengasingkan diri seperti Abdul Salam Jelloud.

"Bagi Gaddafi pilihannya adalah membunuh atau dibunuh," kata penyair Libya, Ashour Shamis, seperti dikutip The Guardian.

Sir Richard Dalton, mantan Dubes Inggris di Libya, menyambung, "Prilaku rezim ini adalah menang atau kalah."

Gaddafi juga amat nepotis. Dia menunjuk Muatassim, anaknya sendiri, sebagai penasehat keamanannya. Muatassim sendiri bersaing dengan anak Gaddafi lainnya, Khamis si bengis.

Masih ada Saiful Islam yang beberapa waktu berpidato di televisi, kemudian Saadi yang pecandu narkoba dan Hannibal yang prilakunya bermasalah sehingga hubungan Libya-Swiss sempat tegang dibuatnya.

Gaddafi sendiri ramai disebut berkepribadian aneh, seorang egois eksentrik yang sulit ditebak. Dia dipercaya sebagai penguasa Arab terburuk yang masih bertahan setelah Saddam Hussein.

Alih-alih mencipta keadilan berdasarkan sosialisme versinya, Gaddafi malah menyerahkan bagian terbesar negerinya kepada orang-orang yang setia kepadanya.

Untuk menopang kekuasaanya dia menggantungkan diri kepada "komite revolusioner" yang sadis.

Segera tumbang

"Gaddafi kini menuai apa yang telah ditaburnya dulu, yaitu teror, nepotisme, politik suku dan penyalahgunaan wewenang," kata Larbi Sadiki, pakar Timur Tengah pada Universitas Exeter.

Upaya mendongkel Gaddafi ini sendiri sudah dimulai sejak 1980an dan yang terkenal adalah Kudeta Mei 1984 oleh Front Nasional Pembebasan Libya.

Tapi guncangan paling serius yang Gaddafi rasakan datang dari pemberontakan suku berpengaruh, Warfallah, pada Oktober 1993. Banyak anggota suku ini kemudian dieksekusi mati pada 1997.

Kini suku Wirfallah mendapat momen untuk menuntut balas. Sementara itu, kota-kota yang dulu dianaktirikan Gaddafi seperti Al-Baida, Derna, dan Ijdadia, jatuh ke tangan demonstran, juga kantong-kantong kemiskinan di Tripoli --Zintan dan Zawiya-- yang beberapa hari lalu dibom loyalis Gaddafi.

Seperti hari-hari terakhir Mubarak, Gaddafi juga diasingkan dunia. Dan seperti Mubarak, semakin banyak saja tentaranya yang membelot.

"Militer yang masih bersamanya akan segera sadar bahwa senjata tak bisa digunakan untuk menghadapi rekan sebangsanya dan mereka akan berbalik melawan dia," kata Khaled Mahmoud, pakar Libya dari Mesir.

Mahmoud memperkirakan Gaddafi akan segera tumbang.

"Sinyal paling jelas bahwa Gaddafi akan segera jatuh adalah pembelotan korps diplomatiknya dan sejumlah perwira militer," kata Mahmoud.

Gaddafi sendiri enggan belajar dari Mesir dan Tunisia, padahal dia sudah tak bisa lagi mengendalikan negara, persis Ben Ali dan Mubarak di hari-hari terakhirnya.

Ekspatriat-ekspatriat Mesir yang keluar dari Libya menceritakan, tentara Gaddafi ramai-ramai meninggalkan pos-posnya di kota-kota sebelah timur Libya, khususnya Benghazi dan Bayda.

Kejatuhan Gaddafi telah dirasakan sejumlah kalangan setelah seorang puteranya, Saiful Islam, menyampaikan pidato yang membuat marah rakyat Libya.

"Pidato Saiful Islam itu mengancam, arogan, dan melecehkan rakyat Libya," kata Abdelmonem Al-Houniy, Dubes Libya untuk Liga Arab yang mundur karena memprotes penggunaan kekerasan terhadap demonstran.

"Gaddafi telah menuliskan sendiri sertifikat kematiannya dengan berkeras melawan rakyatnya sendiri," sambungnya.

Gaddafi sendiri makin mati rasa. Kegilaan telah membuatnya kian ekstrem melawan rakyat. Padahal kekerasan tak pernah bisa memadamkan api perlawanan rakyat. Ben Ali dan Mubarak merasakan ini. (*)

Oleh Jafar M. Sidik
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011