Jakarta (ANTARA News) - Sistem perekonomian pasar bebas banyak semakin berkembang dewasa ini sejak sistem ekonomi yang bersifat sosialis terbukti tidak mampu membangun perekonomian pada negara-negara yang pernah menganut sistem sosialis seperti Uni Soviet.

Sepeninggalan sistem ekonomi sosialis yang berbau komunis, banyak negara percaya sistem ekonomi pasar akan lebih baik untuk dikembangkan dalam meningkatkan pendapatan rakyatnya lewat privatisasi atas perusahaan milik negara.

Di negara-negara kawasan Eropa, Amerika dan Asia, privatisasi menjadi suatu program yang dinilai strategis untuk diimplementasikan guna menekan kerugian keuangan negara yang lebih besar, sementara sumber pendapatan negara kian mengecil. Privatisasi kini juga mulai digalakan negara di kawasan Afrika.

Guna menekan subsidi anggaran dari pemerintah dan meningkatkan efisiensi dalam pengelolaan perusahaan, privatisasi perusahaan milik negara merupakan kesenyataan yang harus dilakukan oleh penyelenggara negara yang percaya bahwa sistem ekonomi pasar lebih baik dibanding sistem ekonomi lainnya.

Sejarah dimulainya privatisasi, bermula dari pemerintahan Perdana Menteri Inggeris Margareth Thatcher pada 1979 yang membuka pihak swasta untuk ikut memiliki saham perusahaan pemerintah/BUMN.

Kesuksesan privatisasi dalam mendorong peningkatan pendapatan negara melalui peningkatan kinerja profitabilitas perusahaan negara semakin terbukti setelah kesuksesan implementasi privatisasi di Inggris pada pemerintahan perdana menteri Margareth Thatcher tahun 1979.

Pengalihan kepemilikan perusahaan dari kepemilikan negara/publik (state/public ownership) yang diwakili oleh pemerintah melalui /kementerian negara (government ownership) kepada kepemilikan swasta (private ownership) diasumsikan sebagai elemen kunci dalam Hal ini mendorong dilakukannya privatisasi atas perusahaan milik negara itu.

Kepemilikan swasta dinilai lebih optimal dibandingkan dengan kepemilikan negara dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja perusahaan. Sebuah teori "the property right theory" yang dikembangkan Alchian dan Demsetz (1972) dalam Yarrow dan Jasinski (1996) menyebutkan adanya perbedaan insentif atas kepemilikan swasta dan kepemilikan publik dalam pengawasan terhadap kinerja perusahaan.

Pada kepemilikan swasta, tulis Yarrow, insentif untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja perusahaan lebih tinggi karena kepemilikan swasta memiliki property right atas aset perusahaan yang dapat diperjualbelikan untuk memperoleh capital gain atau keuntungan yang akan diperoleh kemudian dalam bentuk dividen.

Property rights yang dimiliki oleh principal pemegang saham memberikan insentif pengawasan perusahaan yang lebih ketat atas pemakaian sumber daya perusahaan untuk dan meyakinkan bahwa manajemen melakukan pengambilan keputusan yang sesuai dengan kepentingan pemegang saham yaitu profitabilitas.

Perusahaan milik negara publik memiliki tanggung jawab atas pengawasan kinerja perusahaan dilakukan oleh pemerintah melalui kementerian dimana secara pegawai kementerian secara individu .

Perusahaan milik negara tidak memiliki property right atas pencapaian kinerja profitabilitas perusahaan sehingga tidak memberikan insentif pengawasan yang lebih baik terhadap pengelolaan perusahaan.


Pandangan berbeda

Walaupun demikian, pandangan yang berbeda diungkapkan oleh  Williamson (1975). Menurut Williamson, meski tidak ada property rights pada perusahaan milik negara tidak berarti pengawasan perusahaan pada perusahaan milik publik lebih lemah daripada perusahaan milik swasta.

Pemerintah sebagai pemilik perusahaan negara dapat mendesain sistem "reward dan punishment" atas pencapaian kinerja perusahaan. Manajamen dapat memperoleh bonus atas profitabilitas yang dicapai atas kinerja yang baik atau memberhentikan pada saat manajemen memberikan kinerja profitabilitas yang rendah.

Hasil penelitian empiris itu mendokumentasikan bahwa faktor institusional seperti pertumbuhan ekonomi, liberalisasi pasar modal, liberalisasi perdagangan, proteksi hukum kepada pemegang saham, law enforcement, dan tingkat kompetisi pada level negara terbukti mendorong efektivitas privatisasi.

Dengan demikian, perusahaan milik negara yang diprivatisasi akan berada pada lingkungan bisnis yang berbeda daripada sebelumnya serta mendapatkan tuntutan yang lebih dari pemegang saham baru untuk perbaikan kinerja.

BUMN yang sebelumnya beroperasi dalam lingkungan yang bersifat monopoli atau duopoli, akan memasuki lingkungan yang lebih terbuka pada saat privatisasi dilakukan. Tekanan yang dihadapi oleh perusahaan tidak hanya datang dari pasar modal tetapi juga dari pasar tenaga kerja.

Menurut Stulz, Kim dan Singgal, liberalisasi akan menurunkan cost of capital dan meningkatkan harga pasar saham. Stulz mengatakan, penurunan cost of capital datang dari penurunan systematic risk dan penurunan agency problems karena proses pengawasan dan implementasi sistem insentif oleh capital market akan lebih jelas dan terukur.


Privatisasi lebih Efektif

Privatisasi sebagai tindak lanjut dari sistem ekonomi pasar, meski mendapatkan reaksi dari beberapa pengamat namun banyak pihak mengakui, privatisasi akanlebih efektif dalam meningkatkan kinerja perusahaan.

Roland, Chong dan Lopez-de-Silanes, para pakar ekonomi perusahaan menjelaskan, restrukturisasi yang dilakukan atas 92 perusahaan di Jepang mendokumentasikan perbaikan atas kinerja operasi.

Awalnya, 92 perusahaan itu lebih banyak" menyusu "kebaikan dari pemerintahnya lewat pemberian subsidi anggaran dan berbagai bekebijakan yang memihak perusahaan itu dengan menjustifikasi demi kepentingan publik.

Privatisasi lewat penjualan saham lewat pasar modal/IPO di Indonesia pertama kali dilakukan 1991 atas divestasi kepemilikan pemerintah atas PT Semen Gresik lewat BEJ dan Bursa Efek Surabaya (BES) kala itu.

Sejak tahun 1991 hingga 2008 sebanyak 21 BUMN diprivatisasi oleh pemerintah Kecuali untuk PT Indosat Tbk.

Dalam privatisasi itu, sisa kepemilikan saham milik pemerintah untuk BUMN menunjukkan prosentase yang masih tinggi lebih dari 51 persen). Ini karena alasan UU Nomor 19/2003 tentang BUMN menjelaskan, BUMN yang berbentuk perseroan terbatas (PT) modalnya terbagi dalam saham yang seluruhnya atau paling sedikit 51 persen sahamnya dimiliki oleh Negara RI agar memperoleh keuntungan.

Porsi seperti itu secara psikologis juga menguntungkan karena mencegah adanya resistensi sebagian masyarakat yang tidak suka jika perusahaan negara serta merta beralih kepemilikannya kepada pihak swasta secara mayoritas.

Oleh karena itu, pemerintah kala itu juga tetap mempertahankan pemberian hak otonomi dalam usaha setelah BUMN di privatisasi, misalnya hak atas penyelenggaraan jasa telekomunikasi dasar dalam dan/atau luar negeri kepada PT Telekomunikasi Indonesia dan hak penyelenggaraan jasa telekomunikasi dasar internasional kepada PT Indosat.

Selain itu, beberapa BUMN berada dalam posisi yang dominan dalam  industrinya, misalnya PT Jasa Marga Tbk, PT Adhikarya Tbk.

Penelitian yang dikembangan dua pakar, Shleifer dan Vishny (1997) mengungkapkan, mekanisme governance di negara-negara berkembang umumnya lemah dan dapat mempengaruhi kinerja perusahaan yang diprivatisasi.

Ini berbeda dengan negara dengan english common law system yang justru memberikan hak yang lebih kuat untuk pemegang saham dan kualitas yang lebih tinggi atas law enforcement daripada negara-negara di bawah French/Continental Law System.

Dikatakan, tanpa adanya proteksi legal terhadap investor, program privatisasi yang dijalankan kurang berpengaruh terhadap peningkatan kinerja perusahaan.

Namun demikian, pemerintah Indonesia dalam Master Plan BUMN tahun 2005-2009 mengakui, privatisasi memberikan dampak positif terhadap kinerja perusahaan yang diukur dalam profitabilitas, output, efisiensi operasi dan leverage.

Ketika Sugiharto menjabat sebagai Menteri BUMN tahun 2008 mendokumentasikan temuannya, adanya perbaikan kinerja yang diukur dengan laba, efektivitas tenaga kerja, dan efektivitas pemakaian aset pada perusahaan yang diprivatisasi.

Selama tahun 1987 - 1997 pemerintah Indonesia melakukan perbaikan atas 6,4 persen, 8,1 dan 22,6 persen dari tujuh dimensi corporate governance yaitu disiplin, transparansi, independensi, accountability, responsibility, fairness, dan kepedulian sosial.

Transparansi merupakan dimensi yang paling diregulasi dalam periode tersebut. Itulah sebabnya, privatisasi BUMN akan tetap menjadi program pemerintah (siapa pun pemimpinnya) guna meningkatkan efektifitas dan efisiensi perusahaan milik BUMN, karena tujuan dari program itu tak lain hanyalah menekan subsidi anggaran dari pajak akan lebih berdaya guna dan bermanfaat bagi rakyat kebanyakan.(*)

(Y005/A011)

Oleh Theo Yusuf Ms dan Endah Sri W
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011