Jakarta (ANTARA News) - Sosiolog Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Dr Musni Umar menyatakan penyelesaian konflik antara Sekretaris Kabinet Dipo Alam dengan Media Indonesia Group sebaiknya lewat dewan pers atau lembaga independen.

"Melalui dewan pers atau lembaga independen diharapkan terjadi dialog antara pihak-pihak bertikai dan mencari titik temu," katanya di Jakarta, Minggu, menanggapi perseteruan kedua belah pihak.

Konflik dipicu oleh pernyataan Dipo untuk memboikot TV One, Metro TV, dan Media Indonesia karena merupakan media massa yang menjelek-jelekkan pemerintah.

Pihak Metro TV dan Media Indonesia menyampaikan somasi kepada Dipo untuk minta maaf secara terbuka dan bila tidak dilakukan maka ditempuh upaya hukum menuntut Dipo.

Musni Umar mengatakan penyelesaian melalui dewan pers atau lembaga independen yang diterima kedua belah pihak dan masyarakat, memunculkan introspeksi dan saling memaafkan antara satu dengan yang lain.

"Ini cara yang diajarkan oleh para pendiri bangsa dan Islam untuk menyelesaikan suatu masalah," katanya.

Menurut dia, tuntutan beberapa kelompok masyarakat kepada Dipo Alam agar minta maaf atas wacananya boikot media, tidak sepatutnya dituruti.

"Ini sengketa kepentingan antara yang membela Presiden SBY dan yang tidak setuju kepemimpinannya," kata Musni Umar.

Dalam alam demokrasi, katanya, hal semacam itu wajar.

Ia mengatakan hak demokrasi Dipo Alam untuk berada di garda terdepan membela Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang telah mempercayainya menjadi Sekretaris Kabinet.

Bahkan, menurut dia, sangat aneh dan tidak bisa diterima akal sehat kalau dia tiarap ketika Presiden diserang dari berbagai penjuru.

"Juga sebaliknya mereka yang beroposisi, sangat lumrah dan dapat diterima dalam alam demokrasi, mereka menggunakan hak demokrasinya untuk mengeritik, mengecam dan bahkan melemahkan kekuasaan Presiden SBY," katanya.

Dipo Alam, lanjut mantan aktivis mahasiswa era 1978-an itu, ibarat main bola, selama ini berada di posisi pertahanan dan pada awal 2011 mengubah strategi dan taktik bermain dengan menjadi penyerang setelah melihat tempo permainan lawan semakin meningkat.

"Sangat lazim manuver untuk menghentikan serangan lawan. Maka wacana boikot media tertentu merupakan salah satu cara," katanya.

Ia mengatakan sudah sepantasnya kalau Dipo Alam sebagai pembela utama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak minta maaf sebab kalau itu dilakukan bisa dimaknai macam-macam seperti tunduk kepada tekanan kelompok pemilik media tertentu.(*)

(T.A029/B009)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011