Jakarta (ANTARA News) - Tidak seperti pejabat daerah lainnya ketika diundang ke DPR, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubowono X dan Wakil Gubernur Paku alam IX dikawal tiga orang berkostum tokoh wayang Hanoman ketika memenuhi undangan Komisi II DPR RI.

Sri Sultan dan Paku Alam ke DPR RI di Senayan Jakarta Selasa untuk menyampaikan tanggapan terkait pembahasan RUU tentang Keistimewaan Daerah istimewa Yogyakarta dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU).

Kedatangannya menuju Ruang Komisi II DPR dikawal tiga Hanoman dengan kostum warna merah, putih dan hitam. Ketiga orang berpenampilan Hanoman ini datang bersama warga Yogya lainnya.

Mereka datang dengan lakon Rama Shinta. Dalam lakon ini, Sri Sultan Hamengkubowono X dan Sri Paku Alam IX diibaratkan sebagai Krisna yang sedang menghadapi anggota Komisi II sebagai punggawa.

Tujuannya adalah supaya Punggawa itu tidak lupa dengan aspirasi masyarakat Yogya yang mendukung penetapan Sri Sultan dan Sri Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.

Pada kesempatan itu. Sri Sultan Hamengkubuwono X menyampaikan sembilan catatan penting terkait dengan Rancangan Undang Undang Keistimewaan Yogyakarta. Pertama, RUU Keistimewaan Yogyakarta dinilai tidak tepat karena tidak merujuk pada pasal 18B UUD 1945 dan tidak sesuai dengan UU No 3 tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kedua, dalam konsideran menimbang tidak dicantumkan dasar filsafat Pancasila yang semestinya menjiwai seluruh produk perundang-undangan. Ketiga, penggunaan nomenklatur gubernur utama dan wakil gubernur utama bertentangan dengan UUD 1945 yang mengamanahkan kepala daerah provinsi adalah gubernur.

Keempat, penggunaan nomenklatur gubernur utama dan wakil gubernur utama mengandung risiko hukum yang sangat besar bagi eksistensi keistimewaan daerah Istimewa Yogyakarta.

Kelima, pasal 1 angka 14 perihal Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai sesuai yang bukan menjadi ciri asli keistimewaan daerah Istimewa Yogyakarta, tapi lebih meniru kepada konum di Aceh dan Majelis Rakyat Papua di Papua.

Keenam, pada Bab II Batas dan Pembagian Wilayah, pasal 2 ayat (1) huruf b menyebutkan, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Klaten Provinsi Jawa Tengah. Padahal kondisi riilnya, selain berbatasan dengan Kabupaten Klaten juga berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Wonogiri.

Ketujuh, Pertanahan dan Penataan Ruang, pasal 26 ayat (1) menyebutkan, Kesultanan dan Pakualaman ditetapkan sebagai badan hukum. Bunyi pasal ini tidak sinkron dengan bunyi penjelasannya yang menyebutkan sebagai Badan Hukum Kebudayaan.

Kedelapan, masih di bidang pertanahan, kalau kesultanan dan kadipaten ditetapkan sebagai badan hukum, bagaimana dengan tanah-tanah yang selama ini dilepas kepada masyarakat dan pihak lain. "Apakah harus dibatalkan?," kata Sri Sultan.

Kesembilan, penggunaan terminologi "pembagian kekuasaan" pada pasal 5 ayat (2) huruf c tidak tepat karena prinsipnya daerah sudah berada pada cabang kekuasaan eksekutif dan kekuasaan eksekutif tidak dapat dibagi- lagi.

(S023/A011/S026)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011