Jakarta (ANTARA) - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) secara tegas mengecam tiga dosa besar di dunia pendidikan, yaitu kekerasan seksual, intoleransi, dan perundungan.

“Kami bekerja sama dengan pemangku kepentingan terus berkomitmen untuk memberantas praktik-praktik tiga dosa besar di lingkungan pendidikan,” ujar Plt Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kemendikbudristek, Anang Ristanto SE MA, di Jakarta, Jumat.

Kemendikbudristek telah mengeluarkan Permendikbud No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Peraturan itu bertujuan untuk menciptakan kondisi proses pembelajaran yang aman, nyaman, dan menyenangkan, serta menghindarkan semua warga di lingkungan kampus dari unsur-unsur atau tindakan kekerasan.

Baca juga: Kemendikbudristek : Permen PPKS sejalan dengan tujuan pendidikan

“Permendikbud ini juga mengatur sanksi yang bisa dikenakan terhadap mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, warga kampus sesuai dengan ketentuan peraturan dan sanksi terhadap perguruan tinggi dan pimpinan perguruan tinggi yang tidak melakukan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual,” katanya.

Sebelumnya, ramai diberitakan mengenai dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum dekan pada mahasiswa di Universitas Riau. Dugaan pelecehan tersebut dilakukan pada saat bimbingan skripsi. Tidak hanya terjadi di kampus itu, kasus pelecehan seksual juga terjadi di sejumlah kampus.

Kekerasan seksual, lanjut dia, merupakan salah satu penghalang tercapainya tujuan pendidikan. Permendikbudristek tersebut mengatur hal-hal yang sebelumnya tidak diatur secara spesifik, sehingga menyebabkan kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi selama ini tidak tertangani sebagaimana mestinya.

“Dampak kerugian fisik dan mental bagi korban kekerasan seksual menjadikan penyelenggaraan Tri Dharma Perguruan Tinggi tidak optimal dan menurunkan kualitas pendidikan tinggi. Sudah sepatutnya kekerasan seksual tidak terjadi, apalagi di lingkungan pendidikan,” kata dia.

Untuk itu, menjadi kewenangan Kemendikbudristek untuk mengatur setidaknya sanksi administratif terhadap pelaku kekerasan seksual di perguruan tinggi. Sanksi punitif lainnya telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pengingat Permen PPKS.

Dia menjelaskan Permen PPKS disusun dengan mengingat adanya 10 peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya di mata hukum, serta telah melalui proses harmonisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Baca juga: Nadiem: Pelaku pelecehan seksual di dunia pendidikan harus dikeluarkan

Baca juga: Nadiem minta waktu untuk cari solusi atasi kekerasan seksual di kampus


Dalam peraturan yang terdiri dari 58 pasal tersebut, disebutkan sejumlah kewajiban perguruan tinggi dalam melakukan pencegahan kekerasan seksual melalui pembelajaran, penguatan tata kelola, dan penguatan budaya komunitas mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan.

Pada pasal 6 dijelaskan pencegahan melalui pembelajaran, yakni pemimpin perguruan tinggi mewajibkan mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan untuk mempelajari modul pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang ditetapkan oleh kementerian.

Sementara pada tata kelola, perguruan tinggi perlu merumuskan kebijakan yang mendukung pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi, membentuk satuan tugas, menyusun pedoman pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.

Selain itu, juga membatasi pertemuan antara mahasiswa dengan pendidik dan atau tenaga kependidikan di luar jam operasional kampus, dan atau di luar area kampus.

Pewarta: Indriani
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2021