Jakarta (ANTARA News) - Hari Kamis (17/3) Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 1973 yang ditujukan kepada orang kuat Libya Moamar Kadhafi.

Keputusan yang diambil tanpa suara (abstain) lima negara yakni China, Rusia, Jerman, Brazil dan India itu memberi otorisasi penggunaan semua cara yang perlu untuk melindungi penduduk sipil, pemberlakuan gencatan senjata dan larangan terbang dengan maksud menghindarkan kaum oposisi dari serangan kekuatan-kekuatan orang kuat Moamer Kadhafi, demikian AFP melaporkan.

Hari Sabtu (19/3) kekuatan-kekuatan Barat didukung Arab (Qatar, UEA) pendukung resolusi PBB dipimpin Amerika Serikat, Inggris dan Prancis, mulai melancarkan serangan yang dimandatkan PBB ketika kekuatan Muamar Kadhafi pimpinan putranya Seif al-Islam menyatakan siap merebut kembali Benghazi dalam waktu 48 jam, kubu terakhir kekuatan oposisi yang menentang sejak 15/2. Kaum oposisi sebelumnya juga dipaksa mundur dari Ajdabiya, Misrata dan Zawiyah.

Momen serangan ditandai dengan peluncuran paling sedikit 110 rudal jelajah Tomahawk selama fase pertama dari kekuatan Koalisi untuk menghancurkan sasaran-sasaran penangkis serangan udara dan radar dari kapal perang Amerika Serikat dan kapal selam Inggris, sedang pesawat-pesawat tempur Prancis membomi sejumlah target militer di seluruh Libya sekaligus mengawasi pemberlakuan zona larangan terbang.

Bahkan Inggris mengirim pesawat Tornado GR4 Royal Air Force berudal Stormshadow dari pangkalannya di Marham sejauh 4.800 km di Inggris bagian timur, dibantu Kapal fregat HMS Westminter dan HMS Cumberland yang dikawal pesawat Typhoon, di lokasi yang tidak disebutkan secara spesifik.

Serangan-serangan tersebut diklaim kementerian luar negeri Libya “menyebabkan korban sipil dan kehancuran infrastruktur sipil, termasuk jalan, rumah sakit dan bandara.”

Rezim vs Rakyat

Selama kurun waktu 41 tahun berkuasa Moamar Kadhafi telah memupuk kekuatan, menumpuk harta kekayaan, mengembangkan bisnis dan mengumpulkan pengikut.

Dia tidak bergeming dan menuruti kemauan para pemberontak yang menginginkan dirinya lengser malahan memobilisasi tentara bayaran dari negara-negara tetangga di kawasan Sub-Sahara dan Afrika yang pernah didukungnya untuk balik melawan.

Ancaman serangan dari Koalisi dia hadapi dengan berani dan bahkan serangan Koalisi terhadap Libya dijadikan alasan Libya berhak membela diri. Dia bersumpah akan balik menyerang sasaran militer maupun sipil hingga menjadikan kawasan Mediterania “medan tempur sesungguhnya” karena semua depot persenjataan telah terbuka dan semua rakyat Libya dipersenjatai untuk melawan kekuatan-kekuatan Barat itu.

Dalam pesan audio singkat Kadhafi mengutuk serangan tersebut sebagai “barbar, agresi Pengikut Perang Salib yang tidak adil.”

Untuk memperlihatkan kuatnya pengaruh dirinya ke dalam negeri Kadhafi bahkan pernah menyatakan bahwa seluruh rakyat Libya mencintainya dan oleh karenanya meminta mereka untuk membelanya.

Kepada Presiden AS Barack Obama, Kadhafi menyatakan rakyat Libya “siap mati untuk saya – laki-laki, perempuan dan anak-anak.” Terhadap Perdana Menteri Inggris David Cameron dan Presiden Prancis Nicolas Sarkozy, Kadhafi dengan marah memperingatkan bahwa mereka akan menyesal campur tangan dalam urusan negaranya.

Tidak hanya kekuatan militer Kadhafi yang dihancurkan ataupun diembargo, kekuatan asset juga tidak luput dari upaya pelemahan oleh Uni Eropa yang sepakat untuk membekukan aset cair keluarga Khadafi yang di Inggris saja jumlahnya 32 miliar dolar AS atau 23 miliar euro dan melarang bepergian Kadhafi dan 25 anggota keluarga dan lingkaran dalamnya yang bertanggungjawab atas penindasan terhadap penduduk sipil.

Catherine Ashton Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa mengatakan kebrutalan rejim meminta tanggapan dengan segera, menunjuk pemboman atas demonstrasi damai.

Opsi PascaKadhafi

Pada Februari lalu di Jenewa, pertemuan para menteri kekuatan-kekuatan dunia Amerika Serikat, Rusia dan Eropa dihadiri Ashton, Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov, Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton serta mitra mereka dari Jerman, Italia dan Iran membahas pembasmian mematikan pemrotes anti rejim Kadhafi dan krisis kemanusiaan di sidang Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Jeneva. Mereka juga membicarakan kepastian Libya pascaKadhafi.

DK PBB yang akhirnya menyepakati dengan suara bulat untuk menerapkan sanksi, menyerahkan Libya ke Mahkamah Kriminal Internasional atas pertumpahan darah akibat penindasan Kadhafi terhadap pemberontakan, yang memicu penyelidikan kejahatan kemanusiaan.

Uni Eropa mengatakan sedang melakukan kontak-kontak dengan orang-orang Libya yang berupaya menggulingkan rejim Kadhafi, sehari setelah Washington mengatakan pihaknya siap membantu pemrotes pro-demokrasi

Perdana Menteri Prancis Francois Fillon mengatakan, “Kami sedang mempelajari semua opsi untuk memastikan bahwa Kolonel Kadhafi memahami bahwa dia harus pergi.”

Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton menggaungkan seruan para pemimpin dunia termasuk Presiden AS Barack Obama dan Perdana Menteri Inggris David Cameron , agar dia lengser. “Pertama kami harus menghentikan rejimnya dan tanpa tumpah darah lebih jauh,” katanya, menandaskan Washington ingin sekali pelengserannya “sesegera mungkin,” demikian AFP melaporkan. (ANT/K004)

AFP/B. Kunto Wibisono


Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011