Damaskus (ANTARA News) - Duabelas orang tewas dalam bentrokan Sabtu di kota Latakia, Suriah utara, kata penasihat presiden Buthaina Shaaban kepada AFP, Minggu.

"Jumlah resmi kematian di Latakia pada Sabtu adalah 10 orang -- warga dan anggota pasukan keamanan -- dan dua orang bersenjata," kata Shaaban, seperti dilaporkan AFP.

Pasukan Suriah memasuki kota pelabuhan Latakia, 350 kilometer sebelah baratlaut Damaskus, sehari setelah seorang pejabat mengatakan bahwa dua orang yang lewat dibunuh oleh penembak gelap.

Bentrokan mematikan Sabtu itu merupakan yang terakhir dari rangkaian kekerasan yang melanda Suriah sejak protes meletus pada 15 Maret, dimana demonstran menuntut reformasi besar-besaran.

Lebih dari 30 orang secara resmi dinyatakan tewas dalam lingkaran kekerasan itu.

Namun, sejumlah aktivis mengatakan, 126 orang tewas dalam kekerasan itu -- 100 orang tewas pada Rabu saja dalam protes di Daraa, kota suku wilayah selatan yang menjadi simbol penentangan para pemrotes.

Pemerintah mengumumkan serangkaian langkah reformasi dalam upaya menenangkan pemrotes, termasuk pembebasan tahanan dan rencana membuat undang-undang baru mengenai media dan perizinan bagi partai politik.

Suriah juga memutuskan pencabutan undang-undang darurat, yang disusun pada Desember 1962 dan diberlakukan sejak Partai Baath berkuasa pada Maret 1963.

Suriah bulan ini mulai dilanda protes yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang menuntut reformasi besar-besaran di negara yang dikuasai Partai Baath selama hampir 50 tahun itu.

Aktivis pro-demokrasi di sejumlah negara Arab, termasuk Suriah, terinspirasi oleh pemberontakan di Tunisia dan Mesir yang berhasil menumbangkan pemerintah yang telah berkuasa puluhan tahun.

Buntut dari demonstrasi mematikan selama lebih dari dua pekan di Mesir, Presiden Hosni Mubarak mengundurkan diri Jumat (11/2) setelah berkuasa 30 tahun dan menyerahkan kekuasaan kepada Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata, sebuah badan yang mencakup sekitar 20 jendral yang sebagian besar tidak dikenal umum sebelum pemberontakan yang menjatuhkan pemimpin Mesir itu.

Sampai pemilu dilaksanakan, dewan militer Mesir menjadi badan eksekutif negara, yang mengawasi pemerintah sementara yang dipimpin perdana menteri.

Di Tunisia, demonstran juga menjatuhkan kekuasaan Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali pada Januari.

Ben Ali meninggalkan negaranya pertengahan Januari setelah berkuasa 23 tahun di tengah tuntutan yang meningkat agar ia mengundurkan diri meski ia telah menyatakan tidak akan mengupayakan perpanjangan masa jabatan setelah 2014. Ia dikabarkan berada di Arab Saudi.

Ia dan istrinya serta anggota-anggota lain keluarganya kini menjadi buronan dan Tunisia telah meminta bantuan Interpol untuk menangkap mereka. (M014/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011