Jakarta (ANTARA News) - Masyarakat Peduli Polisi Bersih meragukan dugaan adanya intervensi Kabareskrim Mabes Polri Komjen Ito Sumadi dalam penyidikan kasus penggelapan senilai Rp42 miliar dengan tersangka Budiono Tan dan Wijanarko Lie.

"Kami menilai sangat tidak mungkin seorang Kabareskrim sekelas Ito Sumardi yang profesional melakukan intervensi dalam kasus tersebut," kata Direktur Eksekutif Masyarakat Peduli Polisi Bersih (MPPB) Malvin Barimbing di Jakarta, Rabu.

Sebelumnya, kuasa hukum pelapor kasus penggelapan senilai Rp42 miliar terkait pembelian minyak kelapa sawit (CPO) PT Benua Indah Group (BIG) M Afrizal Mahfud kepada wartawan di Jakarta, Jumat (25/3), menyatakan meminta Satgas Pemberantasan Mafia Hukum memeriksa Kabareskrim karena diduga mengintervensi penyidikan kasus tersebut dengan meminta kedua tersangka yang merupakan petinggi PT BIG tidak ditahan.

"Sesuai pengakuan Dir I Brigjen Pol Agung Sabar dan penyidik Kombes Pol Wahyu Tri Widodo, kedua tersangka tidak ditahan atas permintaan Kabareskrim Ito Sumardi. Padahal, sudah dua kali tersangka akan ditahan sesuai prosedur hukum yang ada," kata Afrizal dalam kesempatan itu.

Menurut Malvin, tuduhan terhadap Kabareskrim tersebut merupakan tuduhan yang sangat serius dan tendensius, serta sangat menghina jajaran Pori yang dinilainya sudah mulai membaik kinerjanya.

Ia pun meragukan bahwa keterangan tidak ditahannya kedua tersangka akibat intervensi Kabareskrim didapat dari Direktur I Reskrim dan penyidik di Mabes Polri.

"Itu perlu dipertanyakan kebenarannya, dan sudah dapat dipastikan Direktur I dan Kanit tidak mungkin mengatakan demikian," kata Malvin seraya menyebutkan keterangan itu dapat mengadu domba jajaran Polri, khususnya di Reskrim Mabes Polri.

Terkait jual beli CPO PT BIG, Malvin menjelaskan, menurut data yang diperoleh pihaknya, kontrak jual beli CPO dengan sistem "forward trading" antara PT BIG dengan PT Sinar Jaya Inti Mulya dan PT Sutomo Agrindo Mas sebenarnya dalam kontrak bernilai Rp73 miliar lebih.

Sebagian sudah dipenuhi dalam bentuk CPO sejumlah 6200 ton atau setara dengan Rp31 miliar lebih sehingga tersisa Rp42 miliar.

Dikatakannya, dari berbagai surat kabar diketahui bahwa kegagalan PT BIG memenuhi kekurangan CPO dalam kontrak jual beli lebih disebabkan adanya masalah tidak dapat diangkut karena terjadi kendala musim kemarau panjang yang berakibat sungai mendangkal sehingga kapal tongkang tidak dapat merapat.

Selain itu ada berbagai kendala lain yang sudah diberitahukan secara lisan kepada pelapor pada tahun 2010, serta kendala sosial yang menyebabkan belum terpenuhinya kontak jual beli tersebut.

"Bahwa sisa CPO masih ada sampai sekarang ini sejumlah sekitar 8000 ton atau senilai Rp48 miliar di pabrik PT Duta Sumber Nabati dan PT Antar Mustika Segara (grup BIG) yang akan dikirim ke PT Sinar Jaya Inti Mulya dan PT Sutomo Agrindo Mas. Tapi karena kendala sosial dan alam maka pengiriman terhambat," kata Malvin.

Menurutnya, tuduhan Afrizal yang mengatakan CPO PT BIG merupakan sitaan KPKNL Jakarta 1 adalah salah besar karena CPO bukanlah merupakan barang yang menjadi jaminan PT BIG kepada KPKNL dan tidak disita.

"Jika dikatakan CPO BIG adalah sitaan negara berarti PT Sinar Jaya Inti Mulya dan PT Sutomo Agrindo Mas adalah merupakan penadah barang curian CPO, dan dalam hukum pidana bisa dijerat pasal yang memberatkan," katanya.

Malvin justru curiga ada mafia hukum yang dilibatkan untuk membawa kasus jual beli itu, yang sebenarnya perdata murni, menjadi kasus pidana agar memberikan tekanan kepada PT BIG.(*)
(T.S024/E001)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011