Damaskus (ANTARA News) - Tembakan terdengar di kota pelabuhan Latakia, Suriah, Rabu, setelah Presiden Bashar al-Assad membuyarkan harapan bagi diakhirinya kekuasaan darurat puluhan tahun dalam pidato pertamanya selama protes dua pekan.

"Tembakan terdengar di daerah selatan Sleibi namun sumbernya belum diketahui," kata Issam Khoury, seorang wartawan di Latakia, kepada AFP.

Penduduk kota itu juga melaporkan penembakan dari kendaraan yang melaju ke lokasi aksi duduk, dimana pemrotes mengibarkan spanduk-spanduk yang bertuliskan "Tidak bagi perselisihan, ya bagi perdamaian dan kebebasan".

Laporan itu tidak bisa dikonfirmasi secara independen.

Seorang saksi mata yang dihubungi melalui telefon mengatakan, pasukan keamanan melepaskan tembakan untuk membubarkan demonstran yang kecewa pada pidato Assad.

Pasukan Suriah ditempatkan dalam jumlah besar di Latakia, sebuah kota pelabuhan yang terletak sekitar 350 kilometer sebelah baratlaut Damaskus, yang telah menjadi salah satu dari dua titik pergolakan utama dalam protes yang semakin keras selama dua pekan ini.

Berita itu tersiar tak lama setelah Assad menyampaikan pidato yang menuduh musuh-musuh Suriah melakukan "persekongkolan" untuk menyerang persatuan nasional dan tidak mengumumkan diakhirinya kekuasaan darurat yang telah berlangsung setengah abad, seperti yang diharap-harapkan banyak pihak.

Suriah bulan ini mulai dilanda protes yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang menuntut reformasi besar-besaran di negara yang dikuasai Partai Baath selama hampir 50 tahun itu.

Lebih dari 30 orang secara resmi dinyatakan tewas dalam lingkaran kekerasan itu.

Namun, sejumlah aktivis mengatakan, 126 orang tewas dalam kekerasan itu -- 100 orang tewas pada Rabu saja dalam protes di Daraa, kota suku wilayah selatan yang menjadi simbol penentangan para pemrotes.

Pemerintah mengumumkan serangkaian langkah reformasi dalam upaya menenangkan pemrotes, termasuk pembebasan tahanan dan rencana membuat undang-undang baru mengenai media dan perizinan bagi partai politik.

Suriah juga memutuskan pencabutan undang-undang darurat, yang disusun pada Desember 1962 dan diberlakukan sejak Partai Baath berkuasa pada Maret 1963.

Aktivis pro-demokrasi di sejumlah negara Arab, termasuk Suriah, terinspirasi oleh pemberontakan di Tunisia dan Mesir yang berhasil menumbangkan pemerintah yang telah berkuasa puluhan tahun.

Buntut dari demonstrasi mematikan selama lebih dari dua pekan di Mesir, Presiden Hosni Mubarak mengundurkan diri Jumat (11/2) setelah berkuasa 30 tahun dan menyerahkan kekuasaan kepada Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata, sebuah badan yang mencakup sekitar 20 jendral yang sebagian besar tidak dikenal umum sebelum pemberontakan yang menjatuhkan pemimpin Mesir itu.

Sampai pemilu dilaksanakan, dewan militer Mesir menjadi badan eksekutif negara, yang mengawasi pemerintah sementara yang dipimpin perdana menteri.

Di Tunisia, demonstran juga menjatuhkan kekuasaan Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali pada Januari.

Ben Ali meninggalkan negaranya pertengahan Januari setelah berkuasa 23 tahun di tengah tuntutan yang meningkat agar ia mengundurkan diri meski ia telah menyatakan tidak akan mengupayakan perpanjangan masa jabatan setelah 2014. Ia dikabarkan berada di Arab Saudi.

Ia dan istrinya serta anggota-anggota lain keluarganya kini menjadi buronan dan Tunisia telah meminta bantuan Interpol untuk menangkap mereka. (M014/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011