Jambi (ANTARA News) - Wakil Presiden (Wapres), Boediono, meminta bank-bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk mencari solusi segera mengatasi kredit macet para petani, terutama perkebunan karet yang mengakibatkan petani sulit untuk berproduksi.

"Kalau situasinya harga karet yang bagus, mestinya ada jalan keluar dari perbankan, toh secara bisnis baik, apalagi ke depan ada prospek," kata Wapres di depan para petani karet di Dusun Rasau, Kelurahan Jembatan Emas, Kecamatan Pemayung, Kabupaten Batanghari, Jambi, Sabtu.

Menurut Wapres, kredit macet petani di bank BUMN sulit dihapuskan karena terbentur undang-undang, selain itu juga dinilai Wapres tidak memberikan contoh yang baik, karena bisa membuat para petani yang bisa membayar kredit akan ikut-ikutan.

"Opsi yang diperhitungkan tidak mungkin dihapuskan sesuai UU, tapi juga tidak baik hapus-hapusan," katanya.

Untuk itu, Wapres minta kepada bank-bank BUMN untuk membuat solusi, agar para petani yang kreditnya macet dapat kembali mengakses modal untuk berproduksi. Apalagi menurut Wapres, untuk petani karet yang saat ini harganya membaik dan prospek ke depan yang bagus.

Selain itu, Wapres juga meminta agar masalah sertifikasi tanah segera dapat diatasi, sehingga para petani bisa mengakses kredit ke bank untuk berproduksi secara optimal.

Bupati Batanghari, Abdul Fatah, dalam acara itu melaporkan, adanya kredit macet yang dialami oleh para petani didaerahnya terutama dari program pir khusus dan pir trans (perkebunan inti rakyat). Ia mengatakan, 4.168 kepala keluarga petani tidak mampu membayar utang dengan total nilai Rp6,9 milyar.

"Untuk pola PIR khusus dan PIR transmigrasi sisa hutang Rp 25 miliar, dengan jumlah 3.330 kepala keluarga," katanya. PIR adalah perkebunan inti rakyat.

Ia mengatakan, akibat kredit macet tersebut banyak petani tidak bisa berproduksi dan merevitalisasi perkebunannya, sehingga banyak perkebunan dengan pohon yang sudah tua tidak bisa diremajakan.

Ia mencontohkan, areal tanaman karet yang dikembangkan melalui pir khusus, pir transmigrasi dan melalui proyek UPT seperti proyek rehabilitasi sejak 1979 seluas 29.336 ha.

Namun, ia mengemukakan, secara teknis kebun karet itu tidak layak lagi karena produktivitasnya sangat rendah bahkan tidak bernilai ekonomis lagi bahkan sudah banyak yang mati. Sedangkan para petaninya terlilit kredit macet yang membuat tidak bisa meremajakan kebun tersebut.

Untuk itu, ia berharap, kredit macet para petani tersebut dapat dihapuskan sehingga dapat mengakses kembali modal untuk berproduksi.

Ia juga mengungkapkan, masih rendahnya serapan kredit untuk revitalisasi pertanian dan perkebunan. Dari 2.712 kepala keluarga yang mengajukan kredit dengan total luas lahan 6.788 ha, hanya 54 kepala keluarga yang mendapatkan kredit dengan total nilai sebesar Rp1,37 milyar atau 1,99 persen dari yang mengajukan.

Rendahnya angka serapan kredit tersebu,t menurut dia,, karena tiadanya sertifikat yang dimiliki para petani sebagai agunan kredit. Untuk itu ia mengharapkan, program sertifikasi yang murah dan terjangkau petani.
(T.M041)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011