Pendapatan negara berkembang lebih banyak berasal dari pajak tidak langsung, seperti pajak penjualan. Jadi setiap kita membeli barang, tidak ubahnya mengganti dana yang sudah dikorupsi
Yogyakarta (ANTARA News) - Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi yang dibahas saat ini tidak berupaya memiskinkan para koruptor, karena  denda bagi pelaku korupsi justru turun, kata pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Rimawan Pradiptyo.

"Intensitas denda bagi pelaku korupsi yang sebelumnya maksimal Rp1 miliar menjadi Rp500 juta dengan tidak melihat berapa pun nilai korupsi," katanya pada evaluasi pemberantasan korupsi, di Yogyakarta, Jumat.

Menurut dia, denda Rp1 miliar itu dibuat pada 2001. Padahal, inflasi selama 10 tahun mencapai 100 persen, tetapi sekarang denda bagi pelaku korupsi diturunkan menjadi Rp500 juta.

"RUU Tipikor juga tidak memasukkan politik uang dalam tindak pidana korupsi serta menghapus hukuman penjara seumur hidup dan hukuman mati. Hal itu sungguh disayangkan," kata dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.

Ia mengatakan, perilaku korupsi di Indonesia barangkali tidak akan pernah habis. Bahkan, akan semakin bertambah, karena tidak ada hukuman yang memberi efek jera bagi seorang koruptor.

"Di negeri ini rakyat miskin justru mensubsidi koruptor yang notabene adalah orang kaya. Buktinya, data selama 2001-2009, jumlah uang yang dikorupsi mencapai Rp73,07 triliun, tetapi total nilai hukuman finansial yang dijatuhkan hanya Rp5,32 triliun atau 7,29 persen dari total dana yang dikorupsi," katanya.

Menurut dia, dana yang dikorupsi tidak pernah dikembalikan oleh koruptor kepada negara. Meskipun yang bersangkutan sudah menjalani hukuman, dana yang telah dikorupsi justru dibebankan kepada rakyat yang harus membayarnya dengan pajak tidak langsung.

"Pendapatan negara berkembang lebih banyak berasal dari pajak tidak langsung, seperti pajak penjualan. Jadi setiap kita membeli barang, tidak ubahnya mengganti dana yang sudah dikorupsi," katanya.

Ia mengatakan, sistem ini terbentuk karena jaksa dan hakim dalam pemutusan perkara tidak selalu menjatuhkan hukuman pembayaran uang pengganti sebesar jumlah uang yang dikorupsi. Biaya sosial ekonomi masyarakat yang dirugikan tidak menjadi bahan untuk menentukan putusan.

"Pembuktian korupsi belum didasarkan pada hitungan biaya ekonomi, tetapi tetap didasarkan pada biaya eksplisit korupsi dan belum memperhitungkan biaya oportunitas yang hilang akibat korupsi. Hal itu tidak logis, jika orang yang taat membayar pajak harus membayar koruptor yang notabene orang kaya dan berpendidikan," katanya.
(B015*H010/M008)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011