Saat pemerintah Indonesia disibukkan dengan upaya pembebasan 20 awak kapal MV Sinar Kudus yang disandera perompak Somalia, masih ada pekerjaan lain yang menanti terkait hubungan Indonesia dengan negara-negara di kawasan.

Indonesia sebagai ketua Perhimpungan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) 2011 diberi kesempatan oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 14 Februari 2011 untuk ikut mengupayakan penyelesaian sengketa Thailand-Kamboja.

Pada 4-7 Februari, Thailand-Kamboja melakukan aksi saling tembak di daerah perbatasan dekat dengan kuil Preah Vihear seluas 4,6 kilometer persegi yang masih dalam sengketa kedua negara dan menyebabkan korban jiwa serta mengharuskan warga sipil harus mengungsi.

Konflik mengenai perbatasan sesungguhnya bukan hal yang baru antara negara-negara ASEAN. Setidaknya ada empat sengketa perbatasan yang pernah dan sedang dialami.

Sengketa pertama adalah antara Singapura dan Malaysia mengenai pulau Pedra Branca (disebut Pulau Batu Puteh oleh Malaysia) yang terletak di pintu masuk Selat Singapura sebelah timur mulai 1979 dan sudah diselesaikan oleh Mahkamah Internasional pada 2008 dengan kepemilikan jatuh pada Singapura.

Sengketa selanjutnya adalah antara Indonesia dan Malaysia mengenai pulau Sipadan dan Lgitan yang pada 1998 yang dibawa ke Mahkamah Internasional pada 2002 dengan kemenangan di tangan Malaysia.

Sengketa ketiga mengenai negara bagian Sabah yang diklaim oleh Kesultanan Sulu di Filipina Selatan sebagai wilayahnya dan dulu hanya dipinjamkan kepada Inggris, bekas penjajah Malaysia, sehingga harus dikembalikan kepada Filipina, namun Mahkamah Internasional sudah mengukuhkan Sabah sebagai bagian kedaulatan Malaysia.

Sengketa terakhir dan masih berlangsung adalah mengenai Kepulauan Spratly yang berada di Laut China Selatan dan diperebutkan oleh Filipina, Brunei, Malaysia, China dan Taiwan. Belum lama, kapal patroli China melakukan aksi provokasi atas kapal Filipina di sekitar kepulauan yang diyakini mengandung minyak dan gas bumi itu.


Jalan Diplomasi

Namun keistimewaan konflik perbatasan Thailand dan Kamboja adalah kesepakatan bahwa kedua negara menjadikan Indonesia sebagai peninjau di perbatasan dan mengikutkan Indonesia dalam perudingan selanjutnya.

"Baru pertama kali satu negara diminta untuk menjadi peninjau oleh dua negara yang bertikai, hal itu wujud kepercayaan kedua pihak dan ASEAN kepada Indonesia," kata Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa seusai pertemuan informal para Menlu ASEAN pada 22 Februari.

Menurut kesepakatan itu, menurut Marty, Indonesia tidak mengambil alih tanggung jawab kedua negara untuk memastikan adanya gencatan senjata tetapi mendukung hal tersebut dan melaporkan secara akurat temuan di lapangan.

Namun pada kenyataannya, hingga saat ini peninjau Indonesia belum diturunkan ke kawasan perbatasan dan perundingan Thailand-Kamboja dalam Komite Bersama mengenai Batas Demarkasi (JBC) juga belum menghasilkan kesepakatan.

JBC adalah komisi bersama yang ditetapkan Thailand dan Kamboja pada 21 Juni 1997 untuk menetapkan perbatasan kedua negara dan sudah mengadakan tiga pertemuan singkat pada pada November 2008, Februari 2009 dan April 2009.

Pertemuan JBC terakhir pada 7-8 April di Istana Bogor yang dihadiri oleh Menlu Kamboja Hor Namhong namun hanya dihadiri Sekretaris Menlu Thailand Chavanond Intarakomalyasut belum membuahkan kesepakatan yang signifikan.

"Belum ada kesepakatan tentang permasalahan ini karena masalah ini merupakan hal yang rumit karena tidak mungkin selesai dalam satu pertemuan," kata Marty mengomntari pertemuan itu.

Keputusan mengenai penempatan peninjau di wilayah perbatasan juga belum dihasilkan.

Keesokan harinya, Menlu Hor Namhong dalam suatu konferensi pers di Jakarta mengatakan bahwa terdapat tiga butir pembahasan yang tidak disepakati dan hanya satu butir kesepakatan yang dihasilkan dalam pertemuan JBC tersebut.

"Pertama adalah tawaran Kamboja untuk mengirim tim teknis yang menetapkan pilar perbatasan, tanpa harus menunggu persetujuan dari parlemen Thailand mengenai isi dari kesepaktan-kesepakatan JBC sebelumnya," ujar Menlu Namhong.

Menlu Namhong mengatakan bahwa Thailand berkeras agar parlemen negaranya harus menyetujui lebih dulu butir-butir kesepakatan JBC sebelumnya sebelum mengirimkan tim teknis ke perbatasan.

Butir kedua adalah pembuatan peta foto untuk mengidentifikasi perbatasan.

"Kami berharap agar pembuatan peta tersebut dapat dilakukan segera tanpa menunggu persetujuan parlemen Thailand. Namun lagi-lagi Thailand ingin hal tersebut disetujui parlemen terlebih dulu," katanya.

Namun Wakil Mentlu Thailand Intarakomalyasut sebaliknya mengatakan bahwa Thailand dan Kamboja sudah setuju untuk membentuk regu untuk melakukan pengambilan foto wilayah perbatasan yang dipersengketakan dari pihak ketiga, kemungkinan Jepang, Australia atau Denmark .

Butir ketiga adalah mengenai peran Indonesia sebagai Ketua ASEAN untuk melangsungkan pertemuan General Border Committee (GBC).

"Kami mengajukan usul agar GBC selanjutnya dilangsungkan di Indonesia karena Indonesia sudah mendapatkan mandat DK PBB untuk ikut dalam negosiasi Thailand-Kamboja, namun Thailand menolaknya juga," ujar Namhong.

Satu-satunya hal yang disepakati pada perundingan JBC menurut Menlu Namhong adalah adanya "check point" antara kedua negara.

Ia menjelaskan bahwa Kamboja kecewa dengan tindakan Thailand yang dianggapnya menolak keikutsertaan Indonesia sebagai fasilitator masalah perbatasan itu.

"Bila Thailand benar-benar ingin melangsungkan gencatan senjata di perbatasan, mengapa mereka ragu untuk menerima pemantau dari Indonesia di perbatasan?," ujarnya.

Sebelumnya diberitakan bahwa Kepala Angkatan Darat Thailand Jenderal Prayut Chan-ocha menyatakan penolakannya atas keikutsertaan Indonesia atau negara ketiga lain dalam mekanisme bilateral JBC maupun GBC.

Namun Namhong menegaskan bahwa pihaknya tetap mempercayai Indonesia sebagai Ketua ASEAN untuk mengatasi sengketa Thailand dan Kamboja.

"Kami sudah lama melakukan proses negosiasi dengan Thailand namun kami belum mencapai kesepakatan apa pun sehingga kami memerlukan pihak luar sebagai mediator dan yang terbaik adalah Indonesia sebagai Ketua ASEAN, kami selalu percaya Indonesia," kata Namhong.

Pasca pertemuan tersebut, PM Thailand Abhisit Vejjajiva pada Minggu (11/4) mengatakan bahwa pengiriman peninjau asal Indonesia yang tak bersenjata memerlukan perundingan lebih lanjut mengenai wilayah penempatan mereka.

"Sebelumnya kedua negara setuju masing-masing 15 peninjau asal Indonesia dapat ditempatkan di Thailand dan di Kamboja, namun perlu ada perundingan baru jika Kamboja menginginkan para peninjau ditempatkan di kawasan sengketa seluas 4,6 km persegi itu," kata Abhisit.

PM Thailand itu juga mengungkapkan optimismenya bahwa penyelesaian sengketa dapat dituntaskan oleh kedua negara dan menyebutkan bahwa Thailand "tulus" dalam menyelesaikan masalah tersebut.

Menlu Marty juga merespon perundingan tersebut dengan optimisme serupa dengan mengatakan bahwa diplomasi kembali menjadi cara yang dilakukan untuk mengatasi masalah antarnegara.

"Diplomasi kembali menjadi alat untuk mengatasi masalah, bukan saatnya lagi untuk menggunakan kekerasan," katanya di sela-sela Pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN dan Jepang pada 9 April yang juga dihadiri Menlu Kamboja dan Thailand.

"Kedua delegasi di dalam pertemuan Bogor dapat saling melontarkan argumen, hal itu lebih baik daripada saling tembak sehingga dapat dikatakan bahwa keadaaan saat ini sudah lebih baik dibanding keadaan pada Februari lalu," ujarnya.

Titik cerah muncul pada Selasa (12/4) saat wakil PM Thailand Suthep Thaugsuban mengatakan bahwa kabinet memutuskan untuk menarik pengajuan tiga hasil awal pertemuan singkat JBC dari parlemen setelah mempertimbangkan putusan Mahkamah Konstitusi dan pandangan kementerian terkait.

"Dewan Negara sebagai alat hukum pemerintah dan menteri kabinet sama-sama menyampaikan pandangan bahwa Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa proses delegasi Thailand dalam JBC belum selesai, sehingga tidak membutuhkan persetujuan parlemen," kata Suthep.

Menurut Suthep, perundingan harus dilengkapi lebih dulu dan mencapai kesimpulan akhir mengenai apakah hal itu akan berdampak pada wilayah Thailand atau tidak sebelum dikirim dan dimintai persetujuan parlemen.

"Pejabat Thailand, yang duduk di JBC, masih dapat bertemu dengan rekan timpalan mereka asal Kamboja sampai tugas benar-benar lengkap dan mengajukan kesimpulan kepada parlemen Thailand," kata Suthep.

Artinya sudah tidak ada lagi halangan untuk melanjutkan perundingan dalam JBC.


Proses Panjang

Penyelesaian dengan cara diplomasi tentu sesuai dengan prinsip ASEAN yang tertuang dalam Pasal 2 Piagam ASEAN ayat 2d yaitu "mengedepankan penyelesaian sengketa secara damai" yang disepakati pada 20 November 2007.

Namun pilihan diplomasi tersebut memberikan konsekuensi bahwa mungkin hasil negosiasi tidak akan terjadi pada masa kepemimpinan Indonesia sebagai ketua ASEAH yang hanya tinggal delapan bulan lagi menjabat.

Bila dibandingkan sengketa wilayah lain yang juga diselesaikan lewat jalur diplomasi, memperlihatkan kebutuhan waktu yang panjang untuk menghasilkan keputusan.

Namun setidaknya Indonesia masih dapat menjadikan masalah tersebut tetap berada di dalam kawasan dan tidak diangkat ke tingkat internasional seperti dengan membawa sengketa tersebut ke DK PBB atau Mahkamah Internasional.

Lebih lanjut Indonesia dapat menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa di dalam ASEAN seperti yang tertuang pada Piagam ASEAN pasal 23 dan 24 mengenai penyelesaian sengketa yaitu dengan menggunakan jasa baik, konsiliasi atau mediasi.

Terlebih sebenarnya ASEAN sejak KTT pertama 1976 di Bali sudah memiliki kerangka Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dan mengesahkan protokol Mekanisme Penyelesaian Masalah pada KTT ke-16 2008 di Hanoi.

Persoalannya apakah Indonesia dapat memobilisasi negara anggota lain untuk menggunakan mekanisme tersebut, sesuai dengan target yang ingin dicapai pada masa keketuaan ASEAN 2011 yaitu kemajuan signifikan dan konkrit ketiga pilar ASEAN --politik, ekonomi dan sosial budaya, seperti yang diungkapkan oleh Menlu Marty Natalegawa pada awal Januari 2011. (DLN/KWR/K004)

Oleh Oleh Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011