Amman (ANTARA News) - Ribuan pelayat Suriah meneriakkan slogan yang menyerukan penggulingan Presiden Bashar al-Assad, Minggu, pada saat pemakaman seorang prajurit yang tewas selama kerusuhan yang melanda negara itu, kata beberapa saksi.

Slogan-slogan itu, yang lebih bermusuhan terhadap pemimpin Suriah tersebut dibanding dengan seruan pada banyak demonstrasi akhir-akhir ini, tampaknya didorong oleh keyakinan bahwa prajurit itu, yang bernama Mohammad Ali Radwan al-Qoman dan berusia 20 tahun, disiksa oleh pasukan keamanan.

"Kebebasan, kebebasan Suriah, Bashar pergi," teriak orang-orang itu, dalam slogan-slogan yang terdengar di telefon dalam wawancara dengan salah satu pelayat pada pemakaman di Hirak, 33 kilometer sebelah timurlaut kota Deraa, Suriah selatan.

Demonstran menuduh Presiden Assad sebagai "pengkhianat Suriah".

Seorang kerabat korban tewas itu mengatakan, keluarga Qoman diberi tahu bahwa ia tanpa sengaja tersengat aliran listrik di satuan militernya dekat Damaskus.

Namun, kerabat itu menyatakan ada tanda-tanda pemukulan di kaki Qoman, dan dokter di rumah sakit setempat mengatakan bahwa ada indikasi penyiksaan terhadap prajurit wajib militer tersebut.

Suriah sejak pertengahan Maret dilanda protes yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang menuntut reformasi besar-besaran di negara yang dikuasai Partai Baath selama hampir 50 tahun itu.

Puluhan orang secara resmi dinyatakan tewas dalam lingkaran kekerasan itu.

Namun, sejumlah aktivis hak asasi manusia mengatakan, lebih dari 200 orang tewas dalam kekerasan itu -- 100 orang tewas dalam protes di Daraa, kota suku wilayah selatan yang menjadi simbol penentangan para pemrotes.

Pemerintah mengumumkan serangkaian langkah reformasi dalam upaya menenangkan pemrotes, termasuk pembebasan tahanan dan rencana membuat undang-undang baru mengenai media dan perizinan bagi partai politik.

Assad juga memutuskan akan mencabut undang-undang darurat, yang disusun pada Desember 1962 dan diberlakukan sejak Partai Baath berkuasa pada Maret 1963.

Aktivis pro-demokrasi di sejumlah negara Arab, termasuk Suriah, terinspirasi oleh pemberontakan di Tunisia dan Mesir yang berhasil menumbangkan pemerintah yang telah berkuasa puluhan tahun.

Buntut dari demonstrasi mematikan selama lebih dari dua pekan di Mesir, Presiden Hosni Mubarak mengundurkan diri Jumat (11/2) setelah berkuasa 30 tahun dan menyerahkan kekuasaan kepada Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata, sebuah badan yang mencakup sekitar 20 jendral yang sebagian besar tidak dikenal umum sebelum pemberontakan yang menjatuhkan pemimpin Mesir itu.

Sampai pemilu dilaksanakan, dewan militer Mesir menjadi badan eksekutif negara, yang mengawasi pemerintah sementara yang dipimpin perdana menteri.

Di Tunisia, demonstran juga menjatuhkan kekuasaan Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali pada Januari.

Ben Ali meninggalkan negaranya pertengahan Januari setelah berkuasa 23 tahun di tengah tuntutan yang meningkat agar ia mengundurkan diri meski ia telah menyatakan tidak akan mengupayakan perpanjangan masa jabatan setelah 2014. Ia dikabarkan berada di Arab Saudi.

Ia dan istrinya serta anggota-anggota lain keluarganya kini menjadi buronan dan Tunisia telah meminta bantuan Interpol untuk menangkap mereka, demikian Reuters melaporkan. (M014/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011