Surabaya (ANTARA News) - Banjir bandang dan tanah longsor di Kabupaten Jember baru-baru ini, merupakan musibah yang paling banyak menelan korban jiwa dibanding bencana-bencana serupa yang pernah terjadi di Jawa Timur dalam lima tahun terakhir. Hingga hari ini, menurut data Staf Humas Infokom Jember, korban meninggal dalam musibah itu tercatat 57 orang dan ratusan rumah serta bangunan rusak. Data dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jatim yang dihimpun ANTARA di Surabaya, Selasa, menyebutkan, banjir di Jember itu merupakan musibah yang menelan korban terbanyak dari serangkaian bencana serupa yang terjadi di Jatim sejak 2000 hingga 2004. Pada tahun 2000, banjir bandang terjadi di wilayah Kabupaten Situbondo dengan korban jiwa sekitar 15 orang, menghancurkan ratusan rumah dan menyebabkan ribuan hektar sawah gagal panen. Musibah itu mengakibatkan aktivitas perkotaan dan jalan jalur luar kota terendam lumpur selama satu minggu. Musibah banjir bandang dan longsor berikutnya terjadi di obyek wisata Pemandian Air Panas Wanawisata Padusan Pacet, Mojokerto pada akhir 2002 yang menewaskan 24 orang dan dua orang dinyatakan hilang. Puluhan pengunjung obyek wisata tersebut juga mengalami luka berat dan ringan. Pada tahun yang sama, musibah banjir bandang menerjang wilayah Malang Selatan yang mengakibatkan sedikitnya sepuluh meninggal dan ribuan hektar sawah gagal panen. Peristiwa banjir bandang dan tanah longsor kembali terjadi pada tahun 2003 di wilayah Mojokerto, Malang, dan Tulungagung. Sedikitnya tiga korban meninggal dan kerugian harga benda dalam jumlah besar. Setahun kemudian (tahun 2004), giliran wilayah Blitar Selatan yang dilanda bencana dengan korban meninggal dilaporkan 16 orang. "Apa yang terjadi di Kabupaten Jember sebenarnya merupakan rentetan dari kejadian di beberapa daerah sebelumnya. Kondisi lingkungan yang sudah rusak, terutama hutan di Jatim membuat hampir semua daerah rawan terhadap bencana," ujar Direktur Eksekutif Walhi Jatim, Ridho Syaiful Ashadi kepada ANTARA. Ia menambahkan, dari sekitar 1,45 juta hektar areal hutan di Jatim, lebih kurang 700.000 hektare diantaranya (hampir 50 persen) dalam kondisi rusak berat, akibat illegal logging, kebakaran dan lainnya. "Dibanding luas daratan, luas hutan di Jatim sebenarnya belum ideal karena baru mencapai 28,4 persen dari seharusnya 30 persen. Persoalannya, darimana mendapatkan luas hutan yang ideal, sementara laju kerusakan hutan setiap tahun mencapai 30 persen," tambahnya. Mengenai langkah antisipasi bencana serupa didaerah lain, Syaiful meminta pemerintah daerah segera menyiapkan langkah-langkah jangka pendek dan panjang yang semuanya mengarah pada penciptaan manajemen bencana terpadu, seperti pencegahan, penanganan darurat dan rehabilitasi. "Yang paling mendesak saat ini, melakukan koordinasi dengan BMG (Badan Meteorologi dan Geofisika) untuk mengetahui kondisi cuaca, membuat peta daerah rawan bencana dan menginformasikan kepada masyarakat," jelasnya.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006