Moskwa (ANTARA News/RIA Novosti-OANA) - Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Catherine Ashton mengecam penggunaan militer dalam melawan pengunjuk rasa anti pemerintah di Suriah sebagai "tindakan mengerikan yang tidak dapat ditolerir", demikian kabar DPA pada Ahad.

Kekerasan di Suriah perlahan meningkat selama lima pekan dan mencapai puncaknya pada Jumat ketika puluhan pengunjuk rasa tewas akibat kekerasan brutal yang dilakukan oleh polisi dan pasukan keamanan.

"Saya menyarankan kepada pemerintah Suriah untuk melakukan reformasi politik secara menyeluruh yang diawali dengan menghargai hak pokok, kebebasan dasar dan aturan hukum," kata Perutusan Tinggi Uni Eropa Ashton.

Proses tersebut hanya mungkin dilakukan melalui penghentian segera atas penekanan yang menggunakan kekerasan," tambah Ashton.

Beberapa laporan mengabarkan bahwa sebanyak 112 orang tewas dalam pembantaian pengunjuk rasa anti pemerintah pada Jumat di Suriah setelah pasukan keamanan menembak dan menggunakan gas air mata dalam melawan pengunjuk rasa yang menentang pemerintahan Presiden Bashar Al Assad yang menuntut kebebasan politik dan penghentian korupsi.

Kekerasan berlanjut pada Sabtu ketika polisi menembakkan peluru tajam kearah kerumunan massal yang menghadiri upacara pemakaman korban bentrokan yang terjadi pada Jumat.

Sejumlah unjuk rasa warga Suriah diawali di Daraa yang berbatasan dengan Jordania pada 18 Maret. Hal tersebut dipicu oleh penangkapan sekelompok mahasiswa yang menuliskan kata-kata anti pemerintahan di dinding yang kemudian kerusuhan meluas ke wilayah lain di Suriah.

Sebagai tanggapan atas protes tersebut, Assad membentuk pemerintah baru, menjanjikan sejumlah reformasi politik dan ekonomi dan bahkan pada Selasa dia mencabut keadaan darurat negara yang telah diberlakukan di Suriah selama hampir lima dasawarsa.

Namun upaya tersebut gagal menenangkan oposisi yang menuntut pemerintah untuk tidak melakukan kekerasan sewaktu berurusan dengan para pengunjuk rasa.(*)
(Uu.KR-BPY/H-AK)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011