Yuri menegaskan bahwa dalam hal ini bukan kantor KBRI yang akan disita bila Indonesia dianggap gagal membayar utang.
Jakarta (ANTARA News)- Juru Bicara Departemen Luar Negeri (Jubir Deplu), Yuri Thamrin, membantah pemberitaan bahwa kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Jepang, Australia, dan Swiss terancam digadaikan bila pada tahun 2006 Pemerintah Indonesia tidak mampu membayar utang luar negeri. Yuri menjelaskan kepada ANTARA, di Jakarta, Rabu, bahwa berbagai kesepakatan utang luar negeri biasanya mencakup masalah permohonan utang baru, penjadwalan ulang, dan restrukturisasi utang. "Tren yang bergulir saat ini adalah negara-negara pemberi pinjaman ("lender") meminta agar ditunjuk `process agent` yang bertugas menangani proses administratif utang, termasuk korespondensi," kata Yuri. Yang menjadi persoalan mengenai penunjukan "process agent" itu, menurut dia, adalah klausul bahwa selaku kepala perwakilan Indonesia untuk negara tersebut, sang "process agent" akan dicabut kekebalan diplomatiknya bila Pemerintah Indonesia dinyatakan sebagai debitur yang gagal membayar ("default") utang. Menteri Keuangan Boediono pada tahun 2003 telah menandatangani perjanjian penjadwalan ulang utang yang ketiga dengan negara-negara Paris Club dan Non-Paris Club. Menurut pemberitaan sebuah harian nasional (3/1), anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN), Dradjad Wibowo (2/1), mengatakan bahwa penandatanganan perjanjian tersebut mengakibatkan Jepang, Swiss, dan Australia mensyaratkan adanya ketentuan akan menempuh penyelesaian melalui pengadilan, dalam hal Indonesia sebagai debitur yang gagal membayar utang. Menteri Boediono, kata Dradjad, menyetujui Indonesia diajukan ke pengadilan jika tidak mampu membayar utang. Konsekuensinya, semua kekayaan termasuk kantor KBRI di negara tersebut terancam disita. Secara keseluruhan, utang Indonesia yang jatuh tempo pada tahun 2006 diperkirakan mencapai Rp130 triliun. "Perlu saya tegaskan bahwa yang akan dipersengketakan bukanlah bangunan KBRI di negara-negara itu, tapi sang `process agent`," sanggah Yuri. "Sejak awal Deplu mengatakan penunjukan `process agent` boleh-boleh saja dilakukan, tetapi jangan sampai ada implikasi terhadap kekebalan diplomatik," jelasnya. Deplu, lanjut Yuri, menolak bila diplomatnya dijadikan `process agent` kalau memang terdapat implikasi pencabutan kekebalan diplomatik. "Jangan diplomat Deplu yang dijadikan `process agent`, pejabat Departemen Keuangan saja. Karena kerja sebagai diplomat memang harus didukung oleh kekebalan diplomatik, itu sesuai dengan hukum internasional yang lazim berlaku," katanya. Pihak Deplu mengemukakan perjanjian yang berisi klausul pencabutan kekebalan diplomatik korps diplomatik Indonesia itu bertentangan dengan Konvensi Wina 1961 mengenai Hubungan Diplomatik dan Kovensi Wina 1963 mengenai Hubungan Konsulat, di mana Kepala Perwakilan RI mempunyai kekebalan terhadap yurisdiksi kriminal, perdata, dan administrasi dari negara penerima, kecuali hal-hal yang bertentangan dengan misi diplomatik dan konsuler di negara penerima. Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda saat itu, lanjut Yuri, telah mengatakan bahwa dari sisi hukum internasional yang baku menyebutkan pencabutan kekebalan diplomatik tidak bisa diterapkan. Sekali lagi Yuri menegaskan bahwa dalam hal ini bukan kantor KBRI yang akan disita bila Indonesia dianggap gagal membayar utang. "Kedutaan tetap harus dilindungi, tidak boleh diganggu gugat, tidak boleh sembarangan dimasuki. Jadi ini lebih ke `person` si `process agent` - nya," katanya. Dalam kesempatan itu Yuri mengakui dirinya pernah mengetahui adanya korespondensi perjanjian yang ditandangani oleh Menteri Boediono tersebut. "Tapi saya tidak membaca secara rinci tentang klausul siapa orang yang akan ditunjuk sebagai `process agent` yang dimaksud," kata Yuri.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006