Jakarta (ANTARA News) - Koordinator Koalisi Anti Utang (KAU), Kusfiardi menilai sikap Pemerintah terhadap penanganan hutang luar negeri mengabaikan fakta sosial dan lebih berpihak kepada negara-negara kreditor. "Pernyataan Pemerintah bahwa kondisi fiskal aman dan defisit APBN 2006 sebesar 0,7 persen dari PDB sehingga tidak diperlukan moratorium hutang, ongkos sosial yang harus dibayarkan amat besar. Masyarakat yang menanggungnya," kata Kusfiardi di Jakarta, Rabu. Menurutnya, hal itu terlihat dari bertambahnya angka kemiskinan, jumlah putus sekolah, pemutusan hubungan kerja dan rendahnya layanan pendidikan serta kesehatan yang dinikmati rakyat. Ia menambahkan pada tahun 2005 Indonesia mendapatkan moratorium hutang sebesar Rp17 triliun, sehingga dari kewajiban Rp72 triliun yang dibayarkan Rp55 triliun. "Tapi moratorium hanya menunda pembayaran dan dampaknya akan terasa ketika jatuh tempo," kata Kusfiardi. Optimisme fiskal yang dibangun, menurut dia, tidak memperhatikan fakta bahwa dunia internasional sebenarnya mengetahui kondisi masyarakat Indonesia sesungguhnya. "Dunia internasional tahu kalau 30 persen dari 1000 ibu melahirkan tidak mendapat layanan medis. Indeks pembangunan manusia Indonesia juga rendah," ujarnya. Hal itu, lanjutnya, dapat dijadikan sebagai alat negosiasi pengurangan hutang karena Pemerintah membutuhkan ruang fiskal yang berimplikasi di antaranya kepada pelayanan kesehatan, pendidikan, serta santunan terhadap orang miskin dan anak terlantar. Ia mengaku cukup heran dengan sikap Menteri Keuangan yang tetap tidak mau mengajukan permohonan pengurangan hutang, meski sempat menjabat sebagai Kepala Bappenas. "Hanya 30 persen dari komitmen hutang yang bisa dicairkan Pemerintah karena berbagai alasan kreditor. Sedangkan setiap tahun kita harus membayar "commitment fee" terkait dengan jumlah hutang yang diterima," katanya. Hutang yang diberikan negara kreditor juga dapat dipilah Pemerintah, karena tidak semua tepat sasaran dan banyak yang rusak terkena bencana alam. "Misalnya saja karena kejadian bencana alam, hutang proyek itu ditanggung `fifty-fifty` dengan negara kreditor," ujar Kusfiardi. Menurut Kusfiardi, berdasarkan data Bank Indonesia posisi hutang luar negeri Indonesia hingga April 2005 mencapai 82 milyar dolar AS, sedangkan per 31 Oktober 2005 61,8 milyar dolar AS. Sementara pada tahun 2006, hutang yang harus dibayarkan sekitar Rp90-an triliun, termasuk pokok hutang dan bunga. "Guna meningkatkan pendapatan negara, target pajak dinaikkan, padahal rakyat kecil sudah terkena dampak kenaikan harga BBM yang berujung kepada naiknya harga-harga barang," kata Kusfiardi. Terlalu angkuh Sementara itu, Ketua Perkumpulan PraKarsa, LSM yang fokus ke kebijakan pembangunan alternatif, Binny Buchori mengatakan Pemerintah terlalu angkuh dengan sikapnya soal penanganan hutang luar negeri. "Yang dibutuhkan sebenarnya bukan moratorium, tapi pemotongan atau pengurangan beban hutang. Kalau itu tidak dilakukan, berarti Pemerintah memilih memuaskan kreditor daripada melindungi belanja sosial masyarakat," ujarnya. Ia menambahkan saat ini sekitar 27 persen dari APBN digunakan untuk pembayaran hutang. Sedangkan pendapatan negara tetap, target pertumbuhan tidak tercapai serta Infrastructure Summit 2005 tidak menghasilkan pendapatan yang signifikan bagi negara. "Pemerintah lebih memprioritaskan pembayaran hutang, padahal banyak kebocoran dan penggunaannya diragukan," ujar Binny. Ia juga ingin menagih janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sewaktu musim kampanye Presiden yang menyatakan akan meminta pengurangan hutang luar negeri. "Dalam forum Millenium Summit, Presiden juga meminta agar pengurangan hutang luar negeri harus diperluas," katanya. Dengan mempertahankan fiskal yang ketat, maka APBN tidak bisa menghasilkan stimulus untuk merangsang pertumbuhan ekonomi. "Pemerintah memilih gali lobang tutup lobang untuk mempertahankan defisit APBN," ujarnya. (*)

Copyright © ANTARA 2006