Damaskus (ANTARA News) - Pemerintah Suriah hari Senin menetapkan batas waktu 15 hari bagi orang-orang yang melakukan "tindakan melanggar hukum" untuk menyerah.

Ultimatum itu disampaikan ketika 180 orang ditahan dalam gelombang terakhir penangkapan dan pada saat aktivis merencanakan demonstrasi anti-pemerintah setelah kematian puluhan orang pada protes akhir pekan, demikian AFP melaporkan.

Dalam sebuah pernyataan, kementerian dalam negeri meminta "warga yang mengambil bagian dalam atau melakukan tindakan melanggar hukum seperti membawa senjata, menyerang aparat keamanan atau menyebarkan kebohongan agar menyerah sebelum 15 Mei dan menyerahkan senjata mereka kepada pihak yang berwenang".

Pernyataan itu mendesak penduduk Suriah untuk memberikan informasi mengenai pelaku sabotase, teroris dan tempat menyembunyikan senjata", serta berjanji bahwa mereka tidak akan dikenai tindakan hukum.

Seorang juru bicara militer Senin mengumumkan penangkapan 499 orang di kota bergolak Daraa, Suriah selatan, sepekan setelah ribuan prajurit yang didukung tank menyerbu kota itu untuk memadamkan protes.

Juru bicara itu juga mengumumkan kematian dua anggota pasukan keamanan "serta 10 teroris". Delapan prajurit cedera dan lima orang bersenjata yang akan melakukan penyerangan ditangkap, kata militer.

Menurut situs berita oposisi Revolusi Suriah 2011, pasukan keamanan pada Senin fajar memasuki daerah Kafar Nubbol, 320 kilometer utara Damaskus, dan menggerebek rumah-rumah serta menangkap 26 orang.

Penyerbuan juga dilakukan pada saat fajar di Zabadani dan Madaya, dua daerah wisata sebelah baratlaut Damaskus, dimana pasukan keamanan menangkap 147 orang, kata kelompok HAM Insan.

Suriah sejak pertengahan Maret dilanda protes yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang menuntut reformasi besar-besaran di negara yang dikuasai Partai Baath selama hampir 50 tahun itu.

Kelompok-kelompok HAM menuduh pasukan keamanan Suriah membunuh ratusan warga sipil dalam penumpasan terhadap demonstrasi damai.

Menurut mereka, ribuan orang Suriah ditangkap dan puluhan orang hilang setelah demonstrasi menuntut kebebasan politik dan diakhirinya korupsi meletus hampir enam pekan lalu.

Pemerintah mengumumkan serangkaian langkah reformasi dalam upaya menenangkan pemrotes, termasuk pembebasan tahanan dan rencana membuat undang-undang baru mengenai media dan perizinan bagi partai politik.

Presiden Bashar al-Assad juga memutuskan mencabut undang-undang darurat, yang disusun pada Desember 1962 dan diberlakukan sejak Partai Baath berkuasa pada Maret 1963.

Aktivis pro-demokrasi di sejumlah negara Arab, termasuk Suriah, terinspirasi oleh pemberontakan di Tunisia dan Mesir yang berhasil menumbangkan pemerintah yang telah berkuasa puluhan tahun.

Buntut dari demonstrasi mematikan selama lebih dari dua pekan di Mesir, Presiden Hosni Mubarak mengundurkan diri Jumat (11/2) setelah berkuasa 30 tahun dan menyerahkan kekuasaan kepada Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata, sebuah badan yang mencakup sekitar 20 jendral yang sebagian besar tidak dikenal umum sebelum pemberontakan yang menjatuhkan pemimpin Mesir itu.

Sampai pemilu dilaksanakan, dewan militer Mesir menjadi badan eksekutif negara, yang mengawasi pemerintah sementara yang dipimpin perdana menteri.

Di Tunisia, demonstran juga menjatuhkan kekuasaan Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali pada Januari.

Ben Ali meninggalkan negaranya pertengahan Januari setelah berkuasa 23 tahun di tengah tuntutan yang meningkat agar ia mengundurkan diri meski ia telah menyatakan tidak akan mengupayakan perpanjangan masa jabatan setelah 2014. Ia dikabarkan berada di Arab Saudi.

Ia dan istrinya serta anggota-anggota lain keluarganya kini menjadi buronan dan Tunisia telah meminta bantuan Interpol untuk menangkap mereka. (M014/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011