... kalau ada yang merasa alergi terhadap intelijen, maka hal itu adalah pemikiran aneh
Jakarta (ANTARA News) - Ketua Umum DPP Front Komunitas Indonesia Satu (FKI-1) Julian Manurung menilai, lembaga intelijen perlu diperkuat dengan pemberian kewenangan yang terukur, namun kinerjanya harus terus diawasi oleh DPR.

"Demi efektivitas kerjanya, lembaga intelijen itu perlu dibekali beberapa kewenangan yang terukur dengan maksud mencegah terjadinya serangan dadakan dari musuh negara. Sesuatu yang wajar bila intelijen itu diberi kewenangan intersepsi dan cegah tangkal. Namun semuanya memang perlu rambu agar tidak kebablasan," kata Julian di Jakarta, Selasa, menanggapi perdebatan seputar RUU Intelijen.

Menurut dia, di seluruh dunia, lembaga intelijen selalu ada dan diperlukan sebagai salah satu benteng negara untuk menepis semua ancaman, khususnya dari luar yang ingin menghancurkan negara yang bersangkutan.

Lembaga intelijen, katanya, harus terstruktur dengan kewenangan yang jelas untuk kepentingan negara dan bangsanya.

Karena itu, kata Julian, kalau ada yang merasa alergi terhadap intelijen, maka hal itu adalah pemikiran aneh.

Ia menuturkan, dalam catatan sejarah kemerdekaan hingga sekarang, Indonesia sudah mempunyai lembaga intelijen yang bersifat nasional dengan berbagai nama seperti Badan Istimewa, Badan Rahasia Negara Indonesia, Biro Pusat Intelijen, Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) dan sekarang bernama Badan Intelijen Negara (BIN).

Keberadaan lembaga intelijen Indonesia tersebut, katanya, memang tidak salah jika selalu dievaluasi dan disesuaikan dengan perkembangan jaman dan tantangan yang dihadapi negara. Agar intelijen itu selalu "on the right track" dan tidak digunakan untuk kepentingan penguasa, maka keberadaannya perlu diatur dalam undang-undang.

Julian mengingatkan, tugas intelijen sifatnya bukan proyustisia, berbeda dengan penegak hukum. Karena itu, lanjut dia, pengawasan terhadap kinerja lembaga intelijen harus terus dilakukan oleh parlemen dengan mengedepankan kepentingan negara dan bangsa.

Pasal penangkapan
Sebelumnya, Koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat untuk Advokasi RUU Intelijen kembali menegaskan penolakannya terhadap pasal penangkapan oleh lembaga intelijen karena dinilai sewenang-wenang dan merusak sistem hukum.

"Kami menilai sikap pemerintah yang tetap bersikukuh memberikan pemeriksaan intensif alias penangkapan di dalam undang-undang intelijen kepada lembaga intelijen bukan hanya merusak mekanisme `criminal justice system tetapi juga akan membajak sistem penegakan hukum itu sendiri," kata aktivis koalisi LSM, Direktur YLBHI Erna Ratnaningsih, di Jakarta, Senin (2/5).

Koalisi LSM untuk advokasi RUU Intelijen tersebut terdiri atas Imparsial, Kontras, IDSPS, Elsam, YLBHI, The Ridep Institute, Lesperssi, Setara Institute, LBH Masyarakat, ICW, LBH Jakarta, HRWG, Praxis, Infid, Yayasan SET, KRHN, Leip, Ikohi, Foker Papua, PSHK, MAPI dan Media link.

Koalisi menilai, pemberian kewenangan penangkapan kepada lembaga intelijen juga berarti melegalkan penculikan. Hal ini mengingat penangkapan tersebut boleh dilakukan tanpa didampingi keluarga, tanpa pemberitahuan kepada keluarga atau pihak-pihak terkait sesuai aturan KUHAP.

Koalisi mengingatkan, intelijen bukanlah bagian dari aparat penegak hukum sehingga keliru bila diberikan kewenangan untuk menangkap.

Selain itu, Koalisi menilai, pemberian kewenangan menangkap oleh intelijen merupakan langkah mundur dalam proses reformasi sektor keamanan. Pemberian kewenangan itu, menurut Koalisi, akan mengembalikan format dan posisi lembaga intelijen seperti pada masa Orde Baru.
(A041/A011)

Copyright © ANTARA 2011