Karachi, Pakistan (ANTARA News) - Batas akhir ultimatum Pemerintah Pakistan berakhir hari Minggu (31/12) silam untuk memberi waktu bagi seluruh mahasiswa asing, termasuk mahasiwa Indonesia, meninggalkan negeri Asia Selatan itu. "Kami telah bersiap-siap. Kalau memang benar-benar dievakuasi Pemerintah (Pakistan), kami pasrah saja," kata Sahril Bukit, Ketua Pelajar Indonesia (PPI) di Karachi, Pakistan, kepada ANTARA Kamis. Wakil Konsul Jenderal RI di Karachi, Hikmat Moeljawan, yang dikonfirmasi ANTARA, membenarkan ihwal kesiapan mahasiswa Indonesia untuk dievakuasi dari Pakistan tersebut. "Kami (Konjen RI di Karachi) belum menerima surat resmi dari Pemerintah Pakistan menyangkut ultimatum bagi mahasiwa asing agar meninggalkan Pakistan itu. Namun, kami sudah menyampaikan wanti-wanti kepada semua mahasiswa Indonesa di Karachi, agar mempersiapkan diri menghadapi kenyataan itu," kata Hikmat yang ditemui di ruang kerjanya pada Selasa (3/1). Kepala Bidang Penerangan Konjen RI di Karachi, Henny Mulyani, menjelaskan bahwa sejumlah mahasiswa Indonesi di Karachi telah kembali ke Tanah Air bertalian dengan ultimatum itu. "Tetapi, para mahasiswa yang meninggalkan Karachi itu telah merampungkan studinya. Beberapa mahasiswa di antaranya kembali ke Tanah Air melalui program tenaga musim haji (Temus) di Arab Saudi," kata Henny. Temus adalah program tahunan Departemen Agama RI yang merekrut mahasiwa Indonesia dari berbagai negara di Timur Tengah, termasuk Pakistan, untuk melayani jamaah haji selama di Arab Saudi. Ultimatum pemerintah Pakistan bagi semua mahasiswa asing untuk meninggalkan negeri tersebut bertalian erat dengan isu terorisme karena dinilai sebagai pengancam stabilitas politik dan keamanan di negeri itu. Isu teroris ini berebak sejak Pemerintah Pakistan pimpinan Presiden Pervez Musharraf menyatakan dukungan penuh kepada Pemerintah AS pimpinan Presiden George W Bush untuk melakukan agresi militer ke Afghanistan dan Irak, menyusul tragedi 11 September 2001. Sejak itu, serentetan bom bunuh diri terjadi di tempat-tempat strategis di negeri itu, yang oleh kelompok garis keras pendukung Al-Qaeda pimpinan Osama Bin Laden, dinyatakan bertanggungjawab. Presiden Musharraf telah beberapa kali dilaporkan selamat dari usaha pembunuhan melalui bom bunuh diri tersebut. Permintaan agar mahasiwa asing meninggalkan negeri itu dilansir oleh Pemerintah setempat sejak Juli lalu. Namun, permintaan itu sempat terbendung oleh gempa bumi dahsyat melanda wilayah utara Pakistan yang menelan puluhan ribu korban jiwa. Belakangan, Pemerintah Pakisatan kembali memberi batas waktu hingga 31 Desember 2005 agar para mahasiswa asing meninggalkan negeri itu. Kendati demikian, para mahasiswa asing dari berbagai negara tampaknya enggan mematuhi permitaan meninggalkan Pakistan. "Buat apa kita meninggalkan kuliah dan kembali ke negara dengan biaya sendiri. Kami masih bersikap menunggu kebijakan Pemerintah selanjutnya," kata Abdul Ghani, mahasiswa asal Kamboja yang sedang kuliah di Universitas Islam Abu Bakar, Karachi. Sikap senada diutarakan Mahmud Rashed, mahasiswa asal Nigeria, yang sedang menghadapi ujian akhir tahun di Universitas Studi Islam, Karachi. "Ah, saya kan memiliki visa (izin tinggal) resmi untuk belajar di sini. Jika biaya pemulangan itu ditanggung pemerintah Pakistan, tidak masalah kami dievakuasi," kata mahasiswa fakultas Syariah itu. Pernyataan serupa diungkapkan Ibnu Arifin, mahasiwa asal Madiun, dan Mahmud Amin dari Banjarmasin, yang sedang belajar di Universitas Abu Bakar. "Tidak masalah meninggalkan Pakistan. Yang penting biayanya ditanggung Pemerintah," ujar Ibnu Arifin dan Mahmud Amin yang sedang menempuh program studi S-1. Seorang pejabat Kementerian Luar Negeri Pakistan ketika dikonfirmasi menolak menjelaskan menyangkut pengusiran mahasiwa asing tersebut. "I`m sorry! I have no comment, (maaf! Saya tak mau berkomentar tentang masalah itu)," ujar pajabat Deplu Pakistan itu sembari meminta namanya tidak dikutip.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006