Palangka Raya (ANTARA News) - Salah seorang alumni Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Zaytun Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, yang berasal dari Kota Palangka Raya, Provinsi Kalimantan Tengah, merasa keberatan jika lembaga tempatnya menuntut ilmu dituding sebagai sarang Negara Islam Indonesia (NII).

"Selama saya belajar disana, tidak pernah menemukan hal-hal ganjil terlebih lagi jika sampai dibilang ada ajaran NII kepada kami," katanya di Palangka Raya, Sabtu.

Alumni angkatan pertama tahun 1999 dan lulus tahun 2005 ini, mengaku sangat kaget dengan pihak-pihak tertentu, yang mengaitkan Al Zaytun dengan NII, karena selama kurang lebih enam tahun menempuh pendidikan, tidak pernah diajarkan kurikulum selain dari Kementrian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama.

Kurikulum itu dikombinasikan dengan muatan lokal yang dikembangkan, yakni pendidikan hak asasi manusia (HAM) dan jurnalistik.

"Jadi kami tidak tahu menahu masalah NII dan kami memang tidak pernah diajarkan harus ke NII, akan tetapi ajarannya sama seperti pesantern lain, jadi tidak ada yang aneh-aneh dan menyimpang," tegasnya.

Apalagi sebagai angkatan pertama Ponpes Al Zaytun, pasti akan mengetahui jika ada indikasi mencurigakan seperti penerapan paham-paham radikal dan NII, yang semuanya tidak pernah ditemuinya.

Kendati demikian ia tidak memungkuri pernah mendengar cerita di pesantrennya, salah satu mantan pengurus Ponpes Al Zaytun, merupakan mantan anak buah Kartosurwiryo, akan tetapi bukan lagi sebagai anggota NII.

Selain itu juga dari cerita yang didengarnya, anak bungsu Kartosuwiryo menyampaikan pesan ayahnya sebelum wafat pada pengikut NII, agar dapat kembali ke NKRI dan jangan meneruskan gerakannya.

Pesan yang disampaikan Kartosuwiryo kepada anak bungsunya berbunyi, "Saya ini memang ada pemikirin untuk membuat Negara Islam di Indonesia ini, tapi itu merupakan perbuatan salah dan saya minta kalian (pengikut NII) kembali ke NKRI lagi".

"Jadi jangan mentang-mentang salah satu pengurus ponpes bekas anak buah Kartosuwiryo, yang pernah membina pesantren ini, sehingga Al-Zaytun terbawa-bawa dengan gerakan NII," ujarnya.

Ia juga menegaskan, dari waktu pertama kali tercatat sebagai santriwan di Ponpes Al-Zaytun hingga lulus, tidak pernah mendengar dan mengalami terjadinya pencucian otak, penggodokan dan perekrutan anggota NII.

"Buktinya sampai sekarang Alhamdullilah saya dalam kondisi sehat wal afiat dan berhasil berkerja di salah satu perguruan tinggi (PT), sesuai ilmu yang saya peroleh," tuturnya.

Disinggung mengenai sumbangan ke Ponpes Al-Zaytun, menurutnya merupakan murni bantuan dari masyarakat tanpa ada paksaan sedikit pun, jika pun ada para pejabat yang menyumbang jangan langsung dikaitkan dengan yang bukan-bukan.

Akan tetapi ia percaya, meskipun Ponpes tempat menuntut ilmu sedang mengalami masalah berat, santriwan dan santriwati dapat tegar menghadapi cobaan dari Allah dan sangat yakin Al Zaytun akan tetap menjadi salah satu ponpes yang diminati anak-anak untuk memperoleh pendidikan Islam.(*)
(T.KR-GR/E001)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011