Surabaya, (ANTARA News) - Pakar hukum dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya I Wayan Titib Sulaksana SH MH menilai, Menteri Kehutanan (Menhut) dan jajarannya seperti Dinas Kehutanan (Dishut) dan Perum Perhutani di daerah terbukti lemah dalam pengawasan, sehingga bencana banjir dan longsor terjadi dimana-mana, termasuk di Jember yang menewaskan 80 orang lebih. "Kawasan pegunungan Argopuro di Desa Kemiri, Kabupaten Jember, yang beralih fungsi dari hutan jati menjadi afdeling (lahan perkebunan) membuktikan kelemahan Dishut dan Perhutani, karena itu mereka harus bertanggungjawab. Bisa jadi, Menhut harus mundur sebagai pertanggungjawaban," katanya di Surabaya, Kamis (5/1). Ketua UPKBH (Unit Penyuluhan, Konsultasi, dan Bantuan Hukum) Unair Surabaya ini, mengemukakan itu menanggapi pro-kontra tentang penyebab bencana banjir bandang di Jember, mengingat para pakar dan tokoh masyarakat menilai bencana yang ada merupakan bencana akibat ulah manusia --penggundulan hutan--. Namun, pejabat pemerintah justru menilai apa yang terjadi merupakan bencana akibat faktor alam, bahkan Menhut MS Ka`ban saat meninjau lokasi bencana banjir bandang di Desa Kemiri, Kecamatan Panti, Jember (5/1) menegaskan bahwa bencana di Kemiri bukan akibat pengundulan hutan, melainkan akibat tingginya debit air di kawasan Argopuro (atas). Menurut dia, banjir bandang di Jember boleh saja dinilai sebagai "natural disaster" (bencana alam), tapi apa yang terjadi sebenarnya lebih cenderung sebagai "man made disaster" (bencana akibat ulah manusia), sebab alih fungsi kawasan pegunungan Argopuro dari hutan jati menjadi perkebunan (afdeling) kopi adalah ulah manusia dalam penggundulan dan "illegal logging". "Kalau hutan jati itu akarnya cukup menghujam ke tanah, sedangkan kopi, cokelat dan tanaman perkebunan lainnya tidak kuat akarnya, sehingga jika terjadi penggundulan dan `illegal logging` akan mudah menyebabkan tanah longsor, padahal proses itu sudah berlangsung cukup lama dari 1999 hingga 2006," ungkapnya. Dalam kaitan itu, ia menyarankan kasus serupa yang pernah terjadi di Situbondo (Jatim) dan Pacet (Mojokerto, Jatim), hendaknya dapat dijadikan pelajaran yang berharga untuk melakukan pengawasan sektor kehutanan secara memadai, tanpa harus menunggu bencana banjir dan longsor datang terlebih dulu. "Yang jelas, kalau bencana alam itu sifatnya seperti gunung meletus, tsunami, gempa bumi, dan sejenis. Tapi jika banjir dan longsor, merupakan akibat dari daya dukung kawasan yang merosot," tutur Wayan Titib yang juga pengacara itu.(*)

Copyright © ANTARA 2006