Jakarta (ANTARA) - Antiretroviral atau ARV menjadi kebutuhan pasien dengan HIV-AIDS yang didapatkan sesuai kriteria standar pemberian antiretroviral terapi (ART) untuk mengobati infeksi HIV dengan cara menghambat pertumbuhan virus.

Baca juga: Menjaga ODHA bertahan di tengah pandemi COVID-19

Segolongan obat ini disarankan diminum seumur hidup tanpa terputus oleh pasien bahkan di masa pandemi COVID-19 yang memasuki masa dua tahun terakhir.

Dokter spesialis penyakit dalam konsultan penyakit tropik & infeksi dari Universitas Andalas yang juga anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dr. Hadianti Adlani, Sp.PD-KPTI, mengatakan, obat-obat ini tak lepas dari efek samping sama seperti pemberian obat-obatan untuk terapi lainnya.

Sifat efeknya pun ada yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang sehingga perlu pemantauan dokter. Contoh efek samping yang dapat terjadi yaitu anemia, gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal, insomnia, halusinasi, dan lain lain, tergantung jenis obat yang dikonsumsi.

Baca juga: Kasus HIV/AIDS Kabupaten Bogor capai 2.616 orang

Obat d4T, misalnya, memunculkan gejala neuropati prefer atau kerusakan pada sistem saraf tepi, asidosis laktat yakni saat kadar asam laktat berlebih di dalam tubuh dan lipodistrofi atau keadaan akibat komplikasi metabolik dan distribusi lemak yang terganggu. ZDV bisa menimbulkan gejala anemi, sementara NVP dan EFV dapat memunculkan hepatitis dan ruam kulit.

Pemberian ARV terbagi menjadi lini pertama, kedua, dan ketiga yang terdiri dari tiga kombinasi kelas obat antireplikasi virus di mana setiap lini mempunyai kriteria pemberiannya masing masing sesuai dengan kondisi dan tahapan penyakit pasiennya.

ODHA di Indonesia saat ini menggunakan rejimen kombinasi obat tenofovir, lamivudine, efavirenz sebagai lini pertama.

Hasil studi yang peneliti Dwi Retna Susilowati dan koleganya terkait efektivitas dan keamanan obat ARV lini pertama pada pasien HIV-AIDS di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ambarawa, Semarang pada tahun 2018 memperlihatkan, kurva survival rejimen tenovofir, lamivudin, efavirenz mempunyai peluang survival yang paling besar dibandingkan rejimen lainnya.

Sementara itu, hasil uji cox regression pada rejimen tenovofir, lamivudin dan efavirenz menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap ketahanan hidup pasien dibandingkan dengan ketiga rejimen lainnya.

"Artinya rejimen ini efektivitasnya signifikan sebagai pilihan terapi lini pertama di Indonesia," kata Hadianti kepada ANTARA.

Dia mengungkapkan hingga saat ini penelitian mengenai ARV terus dikembangkan dan dilakukan oleh para peneliti di dunia terutama ke arah pengobatan yang dapat membunuh virus HIV secara langsung.

Baca juga: Kampanye HIV/AIDS di Maluku, melawan pandemi di tengah pandemi

Baca juga: Pemerintah targetkan tidak ada lagi kasus infeksi HIV baru pada 2030

Baca juga: Faktor risiko seseorang terinfeksi HIV dan pengobatan masa pandemi

 
Terapi pada ODHA di masa pandemi
Hadianti yang berpraktik di RS Pondok Indah – Bintaro Jaya itu tak menampik, beberapa layanan memang terdampak pandemi COVID-19 seperti konseling, pelayanan tes HIV, pemberian terapi antiretroviral, pendampingan, layanan laboratorium, dan radiologi.

Tetapi, pihak penyedia layanan kesehatan melakukan penyesuaian layanan, seperti pendaftaran secara online, pengambilan obat per bulan menjadi per 2-3 bulan sesuai dengan status imun pasien. Pelayanan laboratorium yang tutup diupayakan untuk tetap bekerja sama dengan laboratorium lain yang masih melayani.

Baca juga: Komnas Perempuan: PDHA korban kekerasan perlu perhatian khusus

ARV yang perlu terus diberikan pada ODHA, dipastikan pasokan obat dan kelancaran distribusinya di pusat-pusat pelayanan HIV-AIDS seluruh Indonesia.

Menurut dia, pengupayaan sistem pelayanan berbasis one stop service perlu dioptimalkan dengan standar pengendalian infeksi dan harus dapat dijangkau semua pihak. Begitu juga dengan kegiatan monitoring dan evaluasinya.

Berbicara mekanisme pemberian ARV pada dua tahun terakhir khususnya bagi ODHA yang berada di kawasan episentrum COVID-19, Hadianti mengatakan layanan kesehatan bagi ODHA tetap diberikan dengan memenuhi standar protokol kesehatan dengan menciptakan kondisi aman dan nyaman bagi pasien untuk datang berobat secara teratur.

Menurut dia, pasien tak lagi menemukan kesulitan untuk berobat secara teratur karena berbagai upaya keselamatan dan kenyamanan pasien sudah dilakukan untuk pasien datang ke rumah sakit. Permintaan layanan telemedisin dilaporkan sudah jauh berkurang.

"Hambatan yang masih ditemukan yaitu adanya rasa khawatir pasien jika waktu tunggu dokter dan antrean obat cukup lama di rumah sakit. Walaupun demikian, upaya sudah dilakukan dengan mengatur waktu kedatangan pasien ke rumah sakit," tutur Hadianti.

Dia menegaskan, sampai saat ini pelayanan pasien HIV-AIDS sudah berjalan dengan normal dengan memperhatikan protokol kesehatan sesuai standar yang berlaku dan berbagai upaya pencegahan dan pengendalian infeksi sudah diterapkan. Pelayanan laboratorium dan lainnya juga sudah berjalan normal bahkan menambah jam pelayanan.

Beberapa rumah sakit termasuk rumah sakit swasta dapat melakukan program pelayanan HIV-AIDS. Contohnya RS Pondok Indah – Bintaro Jaya sebagai rumah sakit satelit dari Rumah Sakit Umum kota Tangerang Selatan yang menjadi pusat pelayanan HIV-AIDS di kota Tangerang selatan.

Kerja sama ini dinilai berperan besar dalam penyediaan obat bagi pasien HIV-AIDS yang ingin berobat di rumah sakit swasta yang tidak menyediakan ARV.

ARV sendiri termasuk dalam program pemerintah sehingga tidak diperjualbelikan secara bebas tetapi bisa didapatkan pasien secara gratis dengan memenuhi kriteria dan persyaratan administrasi tertentu sesuai standar serta menjalani monitoring dan evaluasinya.

Setali tiga uang dengan Hadianti, peneliti untuk HPTN 074 sekaligus dokter spesialis penyakit dalam subspesialis hematologi-onkologi dari Universitas Indonsia, Prof. Dr. dr. Zubairi Djoerban, SpPD-KHOM juga menyarankan ODHA tidak sampai putus obat.

Menurut dia, ODHA yang bahkan pernah putus obat perlu segera meminum obat karena konsumsi obat teratur bisa membuat kualitas hidupnya baik. Saat ini, obat bisa didapatkan per tiga bulan sekali, namun pasien tetap perlu berkonsultasi ke dokter saat pengambilan obat.

"Putus obat ARV enam bulan, bisa gawat. Namun segera meminum obat. Minum obat teratur maka kualitas hidup baik, produktif, banyak menolong," kata dia dalam webinar yang digelar Jaringan Positif Indonesia belum lama ini.

Saat ini, salah satu terapi ARV yakni dolutegrafir pada prinsipnya bisa dipakai untuk lini 1 yang gagal atau putus obat. Menurut Prof. Zubairi, sama seperti obat lainnya, dolutegrafir bisa memiliki efek samping walau kejadiannya amat sangat jarang.

Jadi, ODHA yang sejak awal meminum ARV disarankan para dokter tak putus meminum obat untuk mengobati infeksi HIV itu walaupun masa pandemi COVID-19 hadir. ARV bisa didapatkan secara gratis sebagai program nasional yang pembiayaannya ditanggung penuh oleh pemerintah.


Baca juga: Kasus HIV/AIDS di Tanjungpinang naik jadi 77 orang di 2021

Baca juga: Risiko ODHA terkena COVID-19 sama seperti yang orang umumnya

Baca juga: Infeksi baru HIV 2020 lebih rendah 47 persen dibanding 2010

Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2021